Hi, guys! How y’all doin?
Postingan singkat aja, mau mengomentari suatu hal yang lagi panas di social media: intern ga dibayar. Wkwkwk~~
Sedikit konteks: Mendikbud Nadiem Makarim bikin program untuk mahasiswa bernama Magang Merdeka, dimana Kemendikbud bekerjasama dengan institusi-institusi membuka lowongan magang massal. Both mahasiswa dan perusahaannya terikat oleh kontrak dengan Kemendikbud dan deliverables-nya tertulis dengan jelas. Mahasiswa harus bekerja sekian bulan, perusahaan harus memberi pekerjaan, sertifikat, dan UANG SAKU.
Long story short, program Magang Merdeka ini sudah habis periodenya, namun ternyata banyak mahasiswa yang belum turun uang sakunya. Lantas komplenlah mereka, curhat panjang lebar di social media. SJW pun ter-trigger, pada nge-bash Nadiem Makarim dan ujung-ujungnya nyalahin Jokowi juga.
Kemudian muncul perdebatan apakah magang memang seharusnya dibayar atau tidak. Yang pro alasannya jelas, karena magang adalah salah satu bentuk labor, jadi fair untuk dibayar. Yang kontrapun argumennya kuat, kebanyakan magang adalah tugas kuliah, jadi konteksnya adalah belajar. Tidak dibayar tidak masalah karena tujuan utamanya adalah mendapat ilmu dan pengalaman.
Well, secara hukum memang ada undang-undang yang mengatur permagangan. Apakah tertulis secara tersirat magang itu wajib dibayar? YA. Tapiiii…. Hehe, ada tapinya. Magang yang dibayar adalah magang yang tujuannya adalah persiapan kerja. Kalau tujuannya adalah melengkapi persyaratan akademis, tugas kuliah atau semacamnya, magang TIDAK dibayar.
Kalo perusahaan mau bayar ya Alhamdulillah, tapi kalo ga mau, yaudah, memang begitu keadaannya. Fyi, di UU juga tidak ada pasal yang mengatur berapa bayaran magang. Jadi, tergantung kebijakan perusahaan.
Gw sendiri ada di pihak yang mana?
Seperti biasa, di tengah-tengah alias grey area. :D
Gw pro magang dibayar karena pengalaman magang mengarahkan gw untuk berpikir demikian. Gw pernah magang 12 tahun yang lalu. Di perusahaan media tempat gw magang waktu itu, gw cuma kasih uang makan 10 ribu perak setiap hari.
Naas.
Ongkos PP Bekasi-Bonjer aja ga nutup. Apalagi gw magang jadi wartawan yang kerjaannya mobile, liputan sana sini. Sehari bisa liputan di minimal 2 tempat. Ongkos perjalanan semuanya harus gw bayar sendiri.
Awal2 sih disabar-sabarin, karena toh pekerjaannya menyenangkan. You know-lah jadi wartawan lifestyle/entertainment, ketemu artis, ngeliput event2 keren, review restoran, dll.
Sebulan pertama masih denial, tapi di bulan kedua baru berasa keuangan cekak. Gw bisa abis 100 ribu sehari buat ongkos doang, dan 12 tahun yang lalu uang segitu lumayan, apalagi buat mahasiswa. Kadang ada hari-hari ga punya uang, gw ga bisa beli makan, atau ga bisa pulang naik taksi walaupun udah malem banget (cuma bisa afford metromini/angkot), ga bisa ikut main sama temen2 karena ga punya uang buat sekedar makan di restoran/karaoke/nonton bioskop..
Baru deh tuh berasa ditampar. Ini kok perusahaan eksploitasi gw banget ya? Dan kok gw bego banget ya mau nerima tawaran magang ini?
Setelah sadar dieksploitasi, kerjaan semenyenangkan apapun jadi ga menyenangkan lagi. Minggu2 terakhir di perusahaan tersebut, setiap pulang kantor gw nangis. Terlalu capek. Terlalu baper. Terlalu kesel. Akhirnya di akhir bulan kedua gw cabut walau kontrak magang gw di sana 3 bulan.
Biarin aja. Sorry not sorry.
Untungnya gw magang for fun aja sih sambil ngisi liburan, bukan kewajiban kuliah atau semacamnya. Jadi ga masalah kalo cabut.
But yeah, cukup traumatized dengan pengalaman magang pertama (dan terakhir) gw itu. Tahun depannya gw ga mau magang lagi, takut diperlakukan sama kayak di tempat magang pertama itu.
Gw tidak menyesal sih, malah gw bangga dengan keputusan gw saat itu. Berani stand up for myself. Karena waktu itu kondisinya kan gw ga punya apa-apa atau siapa-siapa untuk reach out for help. Zaman dulu kan belum ada social media, komunikasi masih susah, teknologi belum maju, orang2 belum pada “woke”, dll.
Anak magang tuh ga bisa ngadu ke HR kalo dieksploitasi, karena by written mereka ga punya hak untuk itu juga. Kalo ngadu ke atasan pun gw ragu bisa dibantu, ujung2nya cuma dibilang “well this is what you signed up for, inilah dunia kerja yang sesungguhnya, kalo ga siap dengan konsekuensi seperti ini ya ga usah magang.”
Di sinilah gw merasa anak magang perlu dibayar dengan layak, at least bayarannya nutup uang makan + ongkoslah. Walaupun sedikit, monetary compensation itu bisa “membantu” meredakan emotional damage yang dihasilkan karena efeknya bisa langsung dirasakan. Jadi ga perlu ada adegan komplen di social media dulu, ngadu sana sini dulu, baper dulu, ah ribet~
HOWEVER~~~
Ada saat-saat gw kontra juga nih. Karena sekarang sudah bisa memposisikan diri sebagai orang yang memperkerjakan anak magang, wawasan jadi lebih terbuka.
Jika konteksnya magang itu lebih karena mahasiswanya yang butuh, daripada perusahaannya yang butuh, di situ saya setuju dengan hukum di Indonesia, magang tidak perlu dibayar.
Misalnya magang jadi salah satu syarat kelulusan. Si mahasiswa apply magang sana sini just for the sake supaya bisa lulus kuliah. HR perusahaan, yang melihat kesempatan ini sebagai free labor yang bisa meningkatkan produktivitas perusahaan dan improve moral karyawan, ya terima-terima aja.
But then imagine lo jadi karyawan perusahaan itu, suatu hari dibilangin sama bos/HR, “eh ada anak magang nih masuk besok, tolong urus ya.”
Walaupun istilahnya bakal ada yang bantuin kerjaan, tetep aja, anak magang itu suatu tanggung jawab tambahan yang muncul tiba2. Yang ada karyawan kerjaannya nambah, mesti ngajarin dan ngawasin. Yakali anak magangnya pinter, kalo oon dan nyusahin, malah bikin stress~
Di situ saya merasa anak magang ga perlu dibayar. I mean, dengan diterima di perusahaan they’ve already got what they need, right? Bahan untuk skripsi atau tugas akhir yang mereka bisa observe dengan masuk kantor setiap hari. Even more, mereka dapet insight-insight penting, firsthand experience, professional guidance, data, produk, dll yang ga mungkin bisa mereka dapatkan di tempat lain. Itu semua sangat priceless dan mereka bisa dapetin GRATIS!
Ya mungkin pola pikir seperti ini juga yang dianut perusahaan tempat gw magang itu ya. Hehehe~
But well point is, there are always two sides of the story we have to understand-lah. Sebagai mahasiswa, tentu pengennya dibayar—lha wong kerja 9to5 selayaknya karyawan normal kok. Tapi sebagai perusahaan, tentu ngeluarin budget itu ga bisa sembarangan, harus ada objective dan KPI yang jelas.
Terus gimana??? Ya kedua belah pihak harus terbuka. Sebagai mahasiswa harus paham kondisi dan kebijakan di perusahaan, dan sebagai perusahaan pun harus paham intention dan kapasitas dari mahasiswa.
Kalo emang ga ada kebijakan magang dibayar di perusahaan, bilang ke mahasiswanya waktu interview, jadi balikin lagi pilihan ke mahasiswa, mau magang atau nggak dengan kondisi seperti itu. Demikian pula mahasiswanya, nyatakan dengan jelas tujuan magang untuk apa dan apa ekspektasinya jika diterima. Tanya juga scope of work-nya, day to day job-nya, challenge-nya, dll.
Terlepas statusnya, magang pada esensinya tetap hubungan kerja yang terikat dengan kontrak/agreement, jadi give and take masing-masing harus jelas. How are both student and company going to be mutually benefitted, semua harus didiskusikan di awal. Mahasiswa, jangan merasa ga punya power karena kalian masih muda dan belum punya apa-apa. Selama kalian punya attitude dan menyampaikan apa yang kalian mau sampaikan dengan baik, perusahaan pasti mau mendengar kok.
Begitulah. Huff, 2 cents jadi panjang. Hehehe~
Okelah~ segitu aja~ semoga sukses magangnya yaa~~~
No comments:
Post a Comment