Tuesday, August 26, 2025

Now what?

Hi, guys! How yall doin?

Got into this convo with friends a few weeks ago.

“So you’ve reached your goals, now what?”

photo creds here


--Ini cerita pertama--

Sejak kecil, kita diperkenalkan dengan konsep cita-cita.

Arti kata cita-cita menurut KBBI:

cita-cita (n) keinginan yang selalu ada di dalam pikiran

Dalam prakteknya, cita-cita hampir selalu dikaitkan dengan konteks karier atau dream job. Jadi ketika orangtua atau guru bertanya pada diri kita sewaktu kecil, jawabannya hampir selalu profesi. 

Dokter, pilot, pramugari, ilmuwan, guru, polisi, PNS (I know particular parents yang menanamkan konsep PNS adalah segalanya sejak dini, wkwk)—to name a few cita-cita yang paling populer, at least di lingkungan tempat gw dibesarkan.

Gw sendiri pernah bercita-cita menjadi dokter waktu SD. Menurut Seeta kecil, dokter itu semacam magician, bisa menyulap orang sakit menjadi sehat. Gw juga merasa dokter itu profesi yang mulia, karena menyehatkan bangsa. Karena itu, gw pernah kepingin jadi dokter. 

Sayangnya cita-cita ini kandas ketika SMA, ketika tau bahwa secara akademis gw tidak memenuhi syarat menjadi dokter. Berkali-kali simulasi tes masuk Kedokteran UI selalu gagal. Pun gw tidak jago-jago amat di Fisika dan Kimia, jagonya cuma di biologi~ Jadi yaa realistis aja. 

Sekitar SMP ketika gw mulai intens berkenalan dengan pop culture, pernah juga bercita-cita jadi aktris dan rapper. Wkwk~

Random sekali memang. But seriously, gw beneran merasa gw jago akting karena jago bohongin orang acting, sempet ikutan teater, and I fucking nailed a couple of plays. Juga terinspirasi film-film dan artis-artis remaja masa itu tentunya, Lindsay Lohan, Hilary Duff, Amanda Bynes, dll. Terus gw tuh bisa lho hapal script satu film full dan re-enact scene-nya, sebwah skill yang ga ada faedahnya. Wkwk~

Lalu, karena pernah ada masanya I was really into hip hop and rap music thanks to Eminem and Linkin Park, gw pengen jadi rapper. I thought it was so cool to be able to write and sing a rap lyric/cipher that not all people can decipher. Sampai sekarang gw masih bisa nyanyi lagu Lose Yourself – Eminem, Empire State of Mind – part rap-nya Jay-Z, Bang Bang – part rap-nya Nicki Minaj, dan God knows how many lagu-lagu Linkin Park, so flawlessly. My biggest flex to date. :p

Sayangnya, cita-cita jadi aktris dan rapper pun harus dikubur karena tidak realistis juga. Tidak bisa diajukan kepada my Asian parents yang mementingkan sekolah dan prestasi akademis. I didn’t even dare propose the ideas to my parents. Udah kebayang reaksinya, “mau jadi apa masa depan kamu?!” wkwkwk~

Hihihi.. Seru ya punya cita-cita tidak realistis.

Kemudian gw berkenalan dengan media massa. TV, radio, majalah, koran, film, buku, musik, dan jatuh cinta pada industrinya. Industri media. Terutama majalah sih waktu itu, nyokap gw selalu bawa pulang majalah hasil dari placement iklan agency tempat beliau bekerja. Semua majalah yang dibawa nyokap gw baca, ga cuma majalah remaja macam Gadis, Cosmo Girl, Go Girl, Kawanku, Hai, tapi juga interest-based magazine kayak majalah otomotif, gadget, National Geographic, Reader’s Digest, dll.

Semakin sering baca majalah, semakin cinta dengan industri media, lama-lama terbesit keinginan untuk berkarier di sana. Kayaknya seru nih, kalau bisa jadi orang yang bekerja di media. Bisa dapet akses ke informasi-informasi menarik lebih duluan dari orang lain, akses ke event-event seru, ketemu orang-orang penting, traveling ke tempat-tempat yang gw belum pernah datengin sebelumnya, on top of that, DIBAYAR LAGI. Wkwk.

Yang kepikiran waktu itu ya kerja di majalah, jadi jurnalis/editor. Ini menjadi cita-cita pertama gw yang realistis. Kebetulan gw juga dianugerahi bakat menulis hasil konsisten menulis diary sejak SD, jadi align dengan cita-cita menjadi jurnalis/editor itu. Alhamdulillah, orangtua approved.

So all set. Fast forward, masuk Ilmu Komunikasi – UI, program studi jurnalisme. Begitu lulus, dapet kesempatan jadi jurnalis di Majalah XXXXX, yang kemudian di-promote jadi editor 2 taun kemudian. 

Cita-cita pertama gw tercapai di usia 24 tahun. 

Sounds awesome? Yeah. Ada masanya gw bangga banget sama pencapaian itu. Tapi ga lama, karena setelahnya gw bergumul dengan konsep baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 

Kalo ada satu hal yang orangtua lupa/tidak bahas/sosialisasikan/ingatkan/kenalkan pada kita ketika mereka memperkenalkan konsep cita-cita, itu adalah apa yang akan terjadi pada kita, atau apa yang harus kita lakukan, setelah cita-cita itu tercapai.

In my case, which I’m pretty sure terjadi pada anak-anak lain juga, mereka tidak melakukannya. Konsep cita-cita itu berhenti ketika cita-cita sudah tercapai. Lalu setelah itu, apa? Now what?

Do we have to live with it for the rest of our lives?
Do we have to set new goals?
Do we have to make something out of it?

What should we do???

Gw bingung banget waktu itu.

Apalagi setelah dijalani, realitanya menjadi jurnalis/editor itu pahit. Problem utama di penghasilan. Di balik semua privilege-nya, mereka hanya kuli tinta yang penghasilannya rendah secara industry standard. When reality bit, I got family to feed, bills to pay, lifestyle to support, pekerjaan itu menjadi terasa sia-sia buat gw. I didn’t gain much by the end of the day.

Belum lagi industri media konvensional seperti majalah dan koran waktu itu mulai tergerus digital. Oh great, not only everything that I did is a vain attempt, I was at risk of losing my job too if I just stayed there. Kebutuhan untuk upskill menjadi penting untuk bisa bertahan di industri ini. 

Pivot. Resign, masuk agency. Persetan dengan cita-cita.

--Ini cerita kedua--

Cita-cita masa kecil gw yang lain adalah kuliah S2 di luar negeri. Inspirasinya dari mana gw lupa sih. Tapi sejak kecil gw selalu tau pendidikan gw ga berhenti di S1. Kenapa luar negeri kalo ga salah sih ya karena logika aja. Gw S1-nya udah di UI—kampus #1 se-Indonesia. Gw selalu mau goes above and beyond in the next step of my life, jadi ga mau kuliah di Indonesia lagi. Ibaratnya di Indonesia gw udah kuliah di kampus ranking tertinggi, berarti S2 harus di kampus yang ranking-nya di atas UI, yaudah harus ke luar negeri.

I always wanted to try living abroad by myself as well, melatih kemandirian. 

So all set. Fast forward, mengejar beasiswa Purpose dan dapet, diberikan kesempatan untuk memilih kampus dan jurusan juga (yang mana gw pilih sesuai industri yang gw suka—media and entertainment), menyelesaikan S2 di Melbourne dalam 1,5 tahun (ketika orang lain butuh 2 tahun).

Cita-cita kedua gw tercapai di usia 28 tahun.

Lalu siklusnya berulang. 

It sounds awesome indeed. At that time, I felt like I could conquer the world. Pulang ke Indo dengan penuh kebanggaan. 

But again, rasa bangga itu nggak bertahan lama. 

Kembali bergumul dengan “now what?”

Gw harus ngapain nih???

Bingung lagi.

And again, another reality bites moment followed right away. Right after for good, langsung jadi pengangguran berbulan-bulan. Cari kerja paska S2 di luar negeri ternyata tidak semudah itu, Fergusso. 

Another concept yang ga di-heads up sama orangtua kita, cita-cita always comes with consequences. Ada terms and condition yang ga terlihat lho. 

--Ini cerita ketiga--

Sejak tahun 2016, alias sejak nonton Stranger Things pertama kali, gw selalu pengen bekerja di Awe. Ambi banget ini, level ambinya 11-12 sama dapetin beasiswa Purpose. Tapi berkali-kali apply (kayaknya to the point my CV auto-reject by system~ wkwk) not even sampai dikontak~

Fast forward, setelah menjalani 1 tahun di QQ yang menyenangkan (to the point kerja di Awe udah bukan ambisi lagi) dan 3 tahun di Errthing yang painful, siapa sangka Awe came out of nowhere. At the time of hopelessness, when I wanted to break free from Errthing so fucking desperately, Awe came to the rescue. I was scouted—contrary to what has been happening a.k.a gw ngejar-ngejar Awe. Kali ini Awe yang ngejar-ngejar gw. Oh so uh-mazing~

Cita-cita ketiga gw tercapai di usia 36 tahun. Tepat 9 tahun sejak gw nonton Stranger Things pertama kali. [eaaa]

Bedanya, kali ini T&C-nya terlihat nyata. I won’t be there for long. Seakan Tuhan udah capek terus menerus mengabulkan cita-cita gw. Biasanya dikasih satu gelas full, sekarang setengah gelas doang. Hahaha~ Canda Tuhan~

So as expected, sekarang gw kembali bergumul dengan "now what?". Padahal udah masuk Awe nih, ibarat kisah Disney princess, sekarang udah di part happily ever after. But no, gw masih bertanya-tanya "now what?"~

Masih banyak lagi cerita tentang cita-cita gw yang tercapai. Tapi yaa.. ending-nya selalu begitu. Selalu ada “now what?” dan konsekuensi hasil manifestasi reality. 

Akibatnya? Gw jadi takut punya cita-cita lagi karena jujur sampai sekarang gw belum punya jawaban buat pertanyaan “now what?” ini. 

Jadi sekarang gw harus gimana? harus ngapain?

Kalo udah tercapai, apakah cita-cita itu harus dilanjutin, di-stop, di-renew, di-auto cancel, di-upgrade, dibiarin, atau apa?

Kalo kalian punya jawabannya pls let me know. 

No comments:

Post a Comment