Seminggu yang lalu gw baru pulang dari Melben. Quick 9 days vacation yang gw lakukan untuk nostalgia.
Gw mengeluarkan uang cukup banyak untuk trip ini, kira2 20 juta. Sangat tidak wise. Karena setelah dipikir2 gw merencanakan liburan ini dengan gegabah, cuma untuk menepati janji pada diri sendiri untuk mengunjungi Melben setahun sekali. Janji yang tidak masuk akal.
Going back to Melbourne also gives me the strangest feeling. It feels like I never left, as if the past 1 year and 2 months never happened. Ketika gw dijemput Mba Dewi dari bandara, melintasi freeway yang melewati CBD dari kejauhan, gw merasa ga pernah pulang ke Indonesia. It’s still so close to my heart. Rasanya kayak baru bangun tidur aja.
Mungkin karena gw belum lama meninggalkan kota itu. Baru 1 tahun 2 bulan. Jadi kembali ke Melben tidak memberikan efek emosional yang mendalam buat gw. Karena mungkin belum kangen2 amat.
Gw mencoba tidak menyesali apa yang sudah terjadi. Toh gw senang bertemu dengan teman2 lama di Melben. Shine aka Matahari, Stephanie aka Mawar, Teresa, Diesel, Taiyo, Teto, Briana, etc. Feels good to see them again.
Berikut rangkuman perjalanan gw ke Melben kemarin:
Melben ga berubah. Masih sama seperti terakhir kali gw meninggalkannya. Banyak construction disana-sini bikin ga nyaman buat jalan2 dan foto2. Tapi selebihnya fine.
Gw nginep di rumah Mba Dewi tanggal 28 Feb – 3 Maret, kemudian pindah ke rumah Briana tanggal 4-5 maret, kemudian pindah ke rumah Cynthia—temen Indo yang baru kenal sebulan yang lalu waktu workshop penulisan di The Jakarta Post, tanggal 7-8 balik ke rumah Mba Dewi.
Satu kata yang menggambarkan liburan gw kemarin: spend. Literally belanja mulu. Duit gw berkelebihan, karena gw ga usah mengeluarkan uang sepeser pun buat penginapan. Mba Dewi, Briana dan Cynthia ga ada yang ngecharge gw buat nginep. I’m so thankful to them. On top of that, dapet $250 tambahan dari jastip yang di-organize Mba Dewi. Lumayan, langsung gw kasih ke nyokap uangnya karena bulan Juli beliau akan wisata ke New Zealand.
Feels good to be back to Armadale, suburb rumah Briana. Sayangnya gw ga berkesempatan untuk melihat kamar gw dulu karena sekarang dipakai adeknya Briana.
Gw memang bertemu teman2 gw tapi ga sebebas itu. Gw harus menerima fakta bahwa mereka semua bekerja dan tidak bisa ditemui sesuka hati seperti dulu. Ada yang hanya bisa ditemui pas pulang kantor, atau disela2 break, atau gw datengin langsung ke tempat kerjanya, kayak si Taiyo. People have their own life now and I’m only a small part of it.
60% waktu gw di Melben kemarin dihabiskan dengan jalan2 sendirian karena alasan yang gw sebutkan sebelum ini. Ke pantai sendiri, belanja di DFO sendiri, ke kampus sendiri, etc. I didn’t complaint. Sometimes that kind of solitude is much needed.
Trip kemarin menyenangkan, tapi juga emosional buat gw. Karena semua temen gw berharap gw balik ke Melbourne. Gw pun mau banget balik, apalagi melihat karier gw di Jakarta stagnan banget sekarang. Gw udah jungkir balik cari kerjaan baru pun masih ga dapet2~ My talent is wasted here, and my current doesn’t help me make a living either~
Gw sudah 2 kali melewatkan kesempatan untuk tinggal dan kerja di luar negeri. Pertama ketika memutuskan kuliah disana 1,5 tahun aja instead of 2 tahun. Padahal kalo 2 tahun, gw bisa apply buat working visa. Kedua ketika gw ditawari paid internship oleh Warner Music Australia, yang memungkinkan gw untuk apply visa magang.
Sekarang gw bener2 menyesal, betapa bodohnya gw kala itu? Betapa nggak well-informed-nya gw, betapa sombongnya gw, betapa idealisnya gw~ Maunya kembali ke Indonesia for the sake of beasiswa negara. Mau jadi contoh buat awardee2 lain~ Kenyataannya? Karier stagnan, penghasilan ga signifikan, cari kerja susah~
Might as well go back to Melbourne, do some odd jobs, tapi menghasilkan. Seperti Taiyo, she’s juggling with three jobs now, but none of them actually related to her study. Dia jadi agen visa, waitress, sama part-time marketing buat perusahaan cleaning service. Tidak banyak menghasilkan memang, penghasilan tahunannya di bawah $40,000. Di bawah rata2 penghasilan tahunan orang lokal. Tapi dia survive, karena uangnya jika ditukar ke rupiah tetap banyak.
But then it got me thinking, apakah gw bener2 mau mengkhianati beasiswa negara itu sepenuhnya sekarang? Apakah gw mau membuang gelar S2 begitu saja? Apakah gw tega ninggalin keluarga gw lagi?
Pertanyaan2 seperti itu menghantui gw sejak pulang dari Melbourne.
Bikin gw depresi lagi. Thank God kemarin udah beli anti-depressant di Chemist Warehouse.
Alright, gw ga mau makin depresi so I guess postingannya sampai di sini aja. Got lots to do, big event is coming in 10 days. Got no time to slack~
Bye~