Sunday, December 30, 2018

Things I Will Do in 2019 (not a resolution!)

Hi, guys! How y’all doin?

It feels so shitty looking at people NY’s resolutions on social media. They have solid dream, solid determination, and solid action to make them all come true. I’m never a resolution-maker kind of person. Pernah bikin resolusi sekali dua kali, tapi terlupakan begitu saja seiring berjalannya waktu.

But I do have couple of pretty realistic goals yang ingin gw capai tahun 2019.

Pertama, gw mau resign. Segera. Urgent. Gw melewatkan 2 kesempatan untuk resign selama bulan November-Desember karena gw terlalu dedicated sama kerjaan gw yang sekarang. Januari, please don’t fail me. I am ready.

Kedua, gw ingin membuka blog ini lagi. Hampir setahun blog ini gw set private karena 2018 is a miserable year for me. Terlalu banyak negativity di blog ini yang gw ga mau orang2 baca. 2019, I wanna go back to my old self who literally doesn’t have anything to hide to people, who have a lot of things to share without hesitation, who can write about literally everything to my heart’s content. I really really wanna go back. Universe, please make it happen!

Ketiga, I want to actually seek cure to my depression. Gw berulang kali bilang ke diri gw kalo gw tuh butuh berobat, butuh ke dokter, butuh penanganan ahli. Tapi ga pernah sempet. 2019, yuk ke dokter. Demi kehidupan yang lebih waras.

Keempat, I want to make big decision in my life. Belum kebayang apa, tapi gw mau bikin keputusan yang 180 derajat mengubah hidup. Yang kepikiran sekarang sih gw mau spend huge sum of money to invest in something. Yang kepikiran sih apartemen, karena dari dulu gw pengen. Ada yang gw incer, tapi tentunya gw ga bisa ujuk2 invest karena gw belum yakin bisa sustained financially sekarang. Kerja keras dan riset lebih lanjut harus dilakukan.

Kelima, gw mau badan gw lebih aktif. Gw mau lebih banyak olahraga, karena I swear setahun di Jakarta banyak pola hidup sehat yang gw terapkan di Melbourne terlupakan begitu saja. Gw ga jalan minimal 5 km sehari, gw ga makan buah & suplemen, gw ga lari sore, etc. Badan gw kaku lagi. Jadi, harus segera cari cara untuk lebih energized myself to work out more.

Keenam, gw mau menambah koleksi baju2 unik di lemari. I’ve realized that the way you dress can say a lot about you, and wearing the right clothes can make you seem powerful and confident. Jadi, 2019 gw mau shop more and let my fashion speaks loud about myself.

Ketujuh, gw mau doing multiple job. Demi masa depan finansial yang lebih baik. Short term goals-nya sih supaya kunjungan ke Melbourne bulan Februari bisa lebih menyenangkan. Long term-nya, yang tadi itu, mau make huge investment. Sama mau nabung aja.

Kedelapan, gw mau beli Instax dan iPad.
Kesembilan, gw mau keluar dari rumah. Tinggal sendirian, kayak di Melbourne.

Nah lho jadi banyak~

Better stop.

Bye guys.


Happy New Year!

Monday, December 24, 2018

Me Wassup #51 – End of Year

Hi, guys! How y’all doin?

Mungkin ini jadi postingan terakhir 2018. Gw lagi bad mood dan ga niat nulis, mau langsung kasih update berupa poin2 aja biar cepet.

- Oma Mami (ibunya bokap) passed away two days ago. Gw sudah ikhlas sejak bertahun2 yang lalu, jadi kemarin ga ada nangis2an. Kasian liat oma sekitar 3 taun terakhir udah ga bisa ngapa2in. So this is just about the time.

- Campaign2 besar udah selesai semua. Kemarin 12.12 capeknya kurang lebih sama kayak 11.11. Bedanya 12.12 lebih ke fisik yang capek, karena kita ada 2 offline event dalam waktu bersamaan. Setelah 2 mega campaign ini, diprediksi kerjaan akan slow untuk beberapa waktu ke depan, which is good. Oiya, akan ada beberapa restrukturisasi di tim juga taun depan. Role gw berubah. But I don’t wanna talk about it right now.

- I suffered a depression two days ago, yes, the same day oma passed away. But the cause wasn’t her. She passed away at night. my depression was in the morning. right after I wake up. Campuran antara teringat akan karir yang ga jelas dan menyedihkan, berantem kecil sama nyokap, rasa iri luar biasa atas kesempatan dan pencapaian beberapa orang, hangover, plus PMS.

Kombinasi semuanya bikin gw bener2 ga tau mau ngapain. Selama sejam gw cuma tiduran di kasur dengan mata kebuka lebar menatap nanar langit2 kamar. Napas gw tersengal2 ga karuan. Takut. Marah tanpa alasan. Mau nangis tapi ga bisa. Akhirnya gw reach out ke Rini dan Maria. 22nya nenangin gw dengan caranya masing2. 22nya ampuh. I’m very thankful to them.

At times like this gw merasa pentingnya siap sedia antidepressant di kamar. Jadi kalo break out kayak kemarin ga usah nunggu sejam, ga usah rely on somebody else (event though they’re willing to help). First and foremost, self initative dulu aja.

Sekarang Alhamdulillah udah reda, walaupun efeknya adalah gw jadi bad mood seharian dan ga produktif.

- Satu hal yang baru gw sadari akan diri gw sekarang. Ternyata gw sudah tidak suka lagi clubbing dan/atau minum. Atau lebih tepatnya clubbing dan/atau minum bersama orang2 yang ga terlalu deket sama gw. Kemarin abis after party sama anak2 kantor dan vendor, merayakan kesuksesan 12.12. Seharusnya menjadi saat2 yang menyenangkan, ternyata gw 100% risih. I didn’t enjoy every second of it. Yang ada di pikiran gw adalah gw pengen cepet pulang, ga mau ada di sana.

I don’t know if something like this will impact my career, karena kemampuan bersosialisasi cukup penting untuk menjaga hubungan dengan banyak pihak, dan cara sosialisasi paling populer adalah dengan hal2 seperti ini. I don’t know I’m just very very uncomfortable with it.

- I need to apply for Aussie Visa soon. Berangkat akhir Februari soalnya. Ketika liat dokumen2 yang haru disiapin, my my.. Kayaknya bikin student visa jauh lebih mudah~ Wkwk~ But yasudahlah, harus dijalani juga sooner or later~ Melbourne I’m coming back!

Mumpung akhir taun, gw rasa ini postingan gw terakhir tahun 2018 karena gw ga bisa prediksi keadaan emosi gw beberapa hari ke depan. Mungkin gw akan depresi lagi sehingga ga bisa nulis lagi, jadi mending gw wrap 2018 sekarang.

So far 2018 has been a shitty year for me. I didn’t gain much financially. My career sucks. My love life is epic zero. My social life is so so. What I thankful is I made couple of great friends. I have a solid company most of the times so whenever I depress I know where to go.

One of the important things I learn this year is never say no to opportunities. Say yes to the first one that comes to you because it doesn’t come twice.

I am so ready to leave 2018 behind and forget it as if it never happens. Here’s to a braver me in 2019.

No more shitty decisions. Please.

Bye 2018.

Saturday, November 17, 2018

3 Most Tiring Moments in My Life

Hi, guys! How y’all doing?

Feels good to be back to blogging!

Setelah 3 minggu berturut2 qerja lembur bagai quda~ Literally ga ada liburnya dari akhir Oktober~ Finally a 48 hours’ day-off, a well-deserved weekend. <3 o:p="">

A little context why I’d been so busy lately, it’s the bloody 11.11 campaign. Campaign tahunan terbesar untuk semua ecommerce. Campaign yang most potentially bikin karyawan tipes (thank God gw nggak~ karena bener2 jaga makan jaga badan pre-during-post campaign).

It was sooo tiring you guys, which is why gw akhirnya terinspirasi bikin postingan ini. Mau merangkum momen2 paling melelahkan dalam hidup gw. Melelahkan secara fisik ya, bukan mental. Saat2 dimana badan gw diforsir untuk bekerja lebih dari kesanggupan. Layaknya mesin.

So, saking lelahnya campaign kemarin, gw jadi reflect on past experiences. Pernah ga sih gw secapek itu sepanjang hidup gw. Jawabannya: pernah, 3 kali tepatnya.


Pertama: liputan Java Jazz Festival (JJF)

Lupa tahun tepatnya, I think it’s 2012 atau 2013 atau 2014, atau semuanya. Entah. Tapi yang pasti lebih dari sekali.

JJF adalah event tahunan untuk penyuka musik jazz di Jakarta. Acaranya 3 hari, Jumat-Minggu. Praktis setiap liputan JJF gw pasti ga punya weekend. Qerja lembur bagai quda.

Di XXXXX dulu, kalo liputan 3 hari berturut2 gini, biasanya ga ada yang mau volunteer, walaupun sebenernya pada suka musiknya atau event-nya in general. Simply karena itu tadi, liputan JJF means no weekend~ Jadi mau ga mau, pembagian tugas selalu lewat sistem undian.

Gw selalu unlucky di sini, selalu kalah undian. Jadi mostly gw yang berangkat~ T.T

Panitia JJF ini ga fleksibel, ga bisa tuh wartawan dari media yang sama ganti2 setiap harinya. Ga bisa shift2an. Setiap media hanya boleh mengirim 2 wartawan, atau 1 wartawan 1 fotografer yang sebelumnya sudah didaftarkan ke panitia. Secara fotografer XXXXX banyak yang ga reliable, biasanya kita ambil jatah 2 wartawan. Jadi at least bisa bagi2 tugas liputan, walaupun konsekuensinya adalah kita jadi ga nulis doang, tapi juga motret~ Capeknya double deh.

Nah, nanti nama dan ID wartawan yang didaftarkan itulah yang tercantum di akses masuk. Hence, ga bisa ganti orang.

Apa yang bikin JJF sangat melelahkan?

1. Stage-nya banyak banget, dan gw harus meliput SEMUANYA, atau at least yang artis2nya masuk segmen XXXXX, which is waktu itu sekitar 80% line up-nya termasuk.

2. Liputan yang gw tulis terdiri dari liputan buat majalah, website, dan livetweet. Jadi gw harus stand by setiap performance untuk memastikan semuanya ter-cover dengan baik. Not to mention kalo ada 2 artis yang perform dalam waktu bersamaan, gw harus lari dari satu stage ke stage lain untuk memastikan semuanya diliput. Paling pe-er kalo jarak antar stage jauh2an. Lo tau sendiri Jiexpo Kemayoran gedenya kayak apa kan? Gara-gara ini sampai sekarang gw masih trauma kalo pergi ke sana.

3. Gw tidak hanya bertugas menulis, tapi juga memotret. Bos gw sangat strict soal kualitas foto, jadi gw harus ambil foto sebagus mungkin to the point gw harus jungkir balik, nyelip2 di antara fans supaya bisa lebih deket ke panggung dan ambil foto lebih bagus. Ini capeknya setengah mati, apalagi kalo fansnya tipikal yang ga bisa diem dan brutal~ Pulang ke rumah pasti ada aja lecet, luka, memar biru2.

4. Gw tidak hanya bertugas saat event, tapi di luar event. By di luar event I mean di hotel. Ngapain di hotel??? Wawancara artisnya tentu saja. Kapan??? :) Sebelum event dimulai, which was PAGI-PAGI BUTA!

My JJF journey was pretty much went like this:

Jumat sore berangkat dari kantor menuju Jiexpo. Jumat Maghrib mulai liputan, mulai dari stage pertama sampai stage terakhir yang dijadwalkan selesai jam 3 pagi hari Sabtu. Pada kenyataannya? Ngaret sedemikian rupa sampai jam 4an baru selesai. Kemudian gw pulang ke rumah, sampai di rumah jam 5an, tidur sejam, jam 7 harus bangun dan berangkat lagi karena gw harus stand by di hotel jam 8 untuk wawancara. Jam 10 selesai wawancara, langsung cabut ke venue karena event-nya udah mulai, dan circle-nya pun berulang. Liputan lagi sampai pagi, pulang ke rumah bentar, terus berangkat ke hotel untuk wawancara. Hari Minggu adalah hari terberat, karena selesai liputan jam 5 pagi di hari Senin, ga sempet tidur, udah harus berangkat lagi, ketemu macet hari Senin yang sangat tidak manusiawi, dan ngantor seperti biasa.

5. Gw tidak mengerti musik jazz. Gw bisa mendengarkan semua jenis musik, kecuali jazz. Entah kenapa buat gw susah sekali untuk bisa memahami dimana indahnya musik jazz. So you can imagine, 3 hari dikasih jazz nonstop, lalu harus bikin tulisan profesional tentang jazz, betapa tersiksanya gw???

I seriously don’t know what to do, don’t know what to write~ Before you judge me with “why don’t you did some research before?” Trust me, udah, tapi gw tetep ga bisa ngerti~~ I don’t know what happens to my ears and my brain~ When it comes to jazz, they just refuse to like it~

This is the most challenging part, karena ngaruh ke mental. I could care less about my body during those 3 days, tapi untuk poin nomer 5 ini, gw menyerah~

So those are 5 reasons why JJF was super tiring for me. It’s traumatic. Rasanya mau nangis aja kalo kebagian liputan JJF~

Don’t get me wrong. I don’t hate JJF and I’m willing to learn more about jazz music in the future. It’s just… liputannya aja. Penuh perjuangan.


Kedua: Karantina LPDP

Inget ga jaman gw baru diterima LPDP dulu gw rajin banget share di blog ini pengalamannya, mulai dari daftar, interview, tes kesehatan, dll. Tapi kemudian gw stop di karantina.

That’s because it wasn’t a good experience for me. Trying to recall all those memories was simply hard.

Yes, it was nice because I met so many new friends, they were awesome, smart, and all, I learned new things, went to Bandung, played outbond, etc. But the whole karantina thing was super tiring it didn’t make any sense.

Karantina berlangsung seminggu dan dimulai hari Senin. Tapi kita udah harus stand by sejak hari Jumat karena banyak banget tugas pre-karantina yang harus dikerjakan.

Tugasnya macem Ospek sih, bikin lagu, buku angkatan, yel-yel, etc. Susah banget karena selain buanyakk, kita baru sekali ketemu. Kita berasal dari latar belakang berbeda2, beda usia mungkin ada yang sampai 15 tahun. Menumbuhkan chemistry untuk bekerja sama tentu sulit.  

Dari Jumat malam, kita barely bisa tidur. Senin pagi, dateng ke tempat karantina dengan nyawa tinggal setengah. Langsung dikasih materi nonstop sampai malem. In between, ngerjain tugas lagi.

Yang paling ridiculous menurut gw: daily report yang dikasih deadline jam 2 pagi setiap harinya dan dikasih target minimal harus sekian lembar.

I did think daily report didn’t have to be long. Yang penting meng-cover semua inti kegiatan yang dilakukan. Oh please, gw 100% yakin ga akan diperiksa juga kok~ 

But not my groupmates, anak2 muda (mostly dari luar Jakarta) yang sangat haus membuktikan diri, atau simply takut beasiswanya dicabut karena nggak total mengerjakan tugas, insist bikin esay panjang lebar.

Alhasil tiap malam begadang bikin esay. Kita bisa stay up sampai jam 2 pagi cuma buat bikin daily report. Jam 4 pagi harus udah bangun lagi untuk olahraga sampai jam 7. Olahraganya 3 jenis, mulai dari lari minimal 5 km, lanjut senam, lanjut game.

Jam 7 balik kamar, mandi, sarapan, jam 8 mulai kelas. Gitu terus selama seminggu berturut2.

Kurang tidur banget. Sehari cuma tidur 2 jam maksimal. Imboost dan kopi jadi teman sehari2 just so we could survive in the class. It was very unfortunate because the classes were actually really interesting, meaningful and useful, apalagi untuk membuka pikiran kita terhadap isu2 tertentu dan mempersiapkan kita kuliah S2.

Tapi karena jadwalnya terlalu padat, kurang istirahat, dan banyak tugas, kebanyakan dari kita ga bisa konsen di kelas. Ngantuk udah pasti. Bolak balik toilet untuk cuci muka. Materi yang dipelajari cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. By the end of the day, mencatat materi yang diberikan hanya for the sake of bikin daily report malemnya. Bukan karena ikhlas mau belajar sesuatu yang baru. This is the worst type of learning.

Hari ke-5 karantina, gw udah mulai sakit. Rasanya pengen menyerah, tapi kemudian teringat my scholarship is at stake kalo gw menyerah. Jadi gw kuat2in.

Hari ke-6 gw udah sakit beneran. Ketika penutupan acara di Kuningan, gw bener2 ga sanggup lagi akhirnya minta jemput dan langsung pulang tanpa babibu.

Gw ga ada masalah sama konten karantina yang diberikan. It’s just military style kayak gitu menurut gw ga tepat diberlakukan untuk orang2 yang mau kuliah S2. Sayang banget datengin banyak pembicara keren yang ujung2nya ga didengerin karena kita semua terlalu capek. Masuk kelas cuma supaya bisa bikin daily report. 

Tugas angkatan yang harusnya buat bonding, karena cuma dikasih waktu seminggu akhirnya asal jadi aja. Dikerjain for the sake of dikumpulin karena udah deadline, tapi ga ada meaning-nya buat kita.


Ketiga: Dian 11.11

Yang baru saja gw lakukan. 11.11 memang cuma sehari, tapi kita sudah sibuk dari akhir Oktober, apalagi buat gw yang tergabung di tim marketing. Banyak banget yang harus dilakukan, karena ada target yang harus dipenuhi. Target yang tidak sedikit.

Semua sumber daya dikerahkan. Kapasitas yang terbatas ga boleh jadi penghalang untuk achieve target. Semua harus berusaha semaksimal mungkin, bahkan hingga tidak tidur, tidak makan, tidak istirahat.

Mungkin terdengar lebay, tapi itulah yang terjadi. Kita stay up di kantor sampai jam 3 pagi. Tidur bentar di hotel, balik kerja lagi jam 8. Kerjaan nonstop sampai tengah malam. 

Tiap jam ada kerjaan baru dateng. Apalagi kalo target belum achieve, harus re-strategy. Bikin planning baru. Lalu langsung eksekusi secepatnya.

Mata gw sakit sesakitnya karena kelamaan liat laptop dan data. Tenggorokan mulai sakit karena kurang tidur. Mood berantakan. Sempet muntah karena pusing. Tolak angin, minyak angin, jadi sahabat. Segala macem obat harus siap, just in case.

Seorang teman yang sudah lulus dari Dian dan bekerja pada kompetitor berkata kerja di Dian itu bootcamp dibanding tempat kerjanya sekarang. Gw merasakan bootcamp itu kemarin.

For the most part, I feel like this system doesn’t make any sense. But sometimes I do think I can’t give up too soon. Masa kalah sama yang lebih muda?

Tapi pertanyaan berikutnya, mau berapa lama kayak gini?

---


-->
Itulah kawan-kawan, 3 momen paling melelahkan dalam hidup gw. Gw tau akan ada lebih banyak lagi momen seperti ini di masa depan. Semoga ketika itu terjadi, gw sudah punya lebih banyak confidence untuk menghadapinya. Karena gw sudah mengalami liputan JJF, karantina LPDP, dan 11.11.