Showing posts with label private. Show all posts
Showing posts with label private. Show all posts

Sunday, August 31, 2025

The only grey area

Selamat siang semuanya. Hari ini hari Minggu di penghujung bulan Agustus 2025 pukul 2pm. Mood lagi drop abis-abisan karena situasi Indonesia yang menuju gawat darurat. 

Demo berkepanjangan dari hari Kamis kemarin, protes terhadap pemerintah yang tone deaf dan pengecut. Kirain cuma sehari dua hari, but nope, udah over the weekend dan expected to be until next week.

Berbagai narasi sudah tersebar di social media. Adanya provokasi, berbagai tindakan anarkis, pahlawan kesiangan, klarifikasi dan permintaan maaf, decoy alias pengalih perhatian, suara rakyat yang dibungkam dimana-mana (termasuk messing with Meta & TikTok system)..

Mentally draining. Capek banget. Tapi tetep harus alert, tetep harus buka sosmed, tetep harus baca, tetep harus repost dan share. That’s the least thing we could do to help this nation survive. 

Gw sendiri sedih banget liat kondisi negara yang sangat gw cintai ini. I gave up opportunity to be permanent resident of Australia because I wanted to live here, in Indonesia. I wanted to contribute to the people and community. Semua itu janji yang gw tulis di motivational letter saat apply beasiswa dan kampus untuk S2 8 tahun yang lalu dan janji itu masih gw pegang sampai sekarang.

Tapi kenapa masa depan Indonesia tampak suram sekali???

Please jangan bikin gw menyesali apa yang sudah gw janjikan. 

Ya Tuhan.. Lindungilah negara ini.

Anyway, dalam situasi seperti ini, gw jadi teringat percakapan bersama 3 teman some times ago. Ga usah gw kasih tau ya siapa orang-orangnya, karena cukup absurd. They are not even my close friends dan kita baru kenal beberapa bulan. 

Percakapan ini sedikit menyinggung apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Dimulai dengan sebuah pertanyaan: do you wish to have kids?

Whoa. 

That was a very personal question!

My introvert side kicked in. Berasa diserang gitu sama pertanyaan itu. 

I mean I don’t mind discussing it with my close friends, atau at least temen2 yang gw udah kenal lama, setahunlah minimal. Mereka-mereka yang ada dalam close proximity yang intens sama gw, misalnya ketemu di kantor atau klub atau komunitas atau project secara rutin, sehingga gw nyaman sama mereka. 

But these guys.. kayak baru kenal 1-2 bulan gitu.. 

So I felt so attacked!

But the other 3 kayaknya orang2 extrovert, jadi didn’t mind sharing their ideas. So I had to play along.

You know, topic about kids itu sangat sensitif buat gw. Selama ini kalo bisa gw menghindarinya. Gw bahkan mungkin ga pernah discuss itu di blog ini padahal blog ini safe space buat gw. Gw mungkin pernah bahas topik ini sama beberapa temen, tapi paling permukaan doang. And I most definitely never talked about it with my parents/family. 

Gw tuh sebenernya tipe orang yang punya pendirian. Yang stance-nya jelas di situasi apapun. I always have strong ideas and opinions. Gw tau gw harus gimana, dimana, memilih apa, berpihak ke siapa, dll itu gw selalu tahu. Selalu yakin dan teguh pada pilihan gw, atas apa yang gw percaya dan yakini benar, atas mana yang baik dan buruk. Itu gw selalu tahu. 

Gw selalu di posisi hitam atau putih, ga pernah abu-abu.

Kecuali… soal anak. 

photo cred here


Ini adalah topik yang gw ga tau dan ga yakin stance gw dimana. I’m neither pros or cons. 50:50. Abu-abu.

Di satu sisi, gw pengen punya anak. I’m sure I can be a good mom, karena gw punya contoh yang luar biasa: nyokap gw. Sosok ibu yang sempurna. Strong, smart, calm, kind, resilient, patient, loving, supportive, forgiving. Semua good quality nyokap bisa gw terapkan pada diri gw dan berlakukan ke anak gw sehingga minimal anak gw nantinya akan tumbuh menjadi seperti gw, which is not bad. :p

Punya anak juga sebuah keputusan yang mulia. You know, just from science perspective, regenerasi human race supaya tidak punah. Who knows anak kita nantinya akan menjadi penerus Einstein, pemimpin dunia, atau agent of change yang akan memberikan the better life for everyone.

A little part of me juga merasa anak akan melengkapi hidup. Pencapaian terbesar sebagai perempuan adalah to become a mother. Kayak udah qodratnya gitu. 

The idea of nggak sendirian di masa tua juga menarik. Walaupun nantinya gw ga akan membebankan kewajiban untuk mengurus gw di masa tua ke anak gw ya. I don’t mind ditaro di panti jompo (yang layak) terus anak gw nengokin seminggu atau sebulan sekali. That’s okay. 

Namun, di sisi lain, punya anak juga banyak risikonya. Risiko finansial yang paling utama. Punya anak itu mahal—at least kalau kita mau memberikan standar hidup yang layak/nggak di bawah standar buat mereka. 

Risiko finansial ini juga ga ada ujungnya, akan terus berlanjut seumur hidup. So gotta be ready for that too. Planning-nya udah sampai after life, ga cuma sampai anak kuliah aja..

Then ada risiko mental dan psychological untuk ibu. Kehilangan identitas atau semacamnya, ketika nama “Seeta” perlahan fade away menjadi “Bu X (nama suami)” atau “Mamanya Y (nama anak). Dealing with negative stigma around women and mothers who are being judged more harshly than men. Balancing the demands of motherhood and personal life. Navigating postpartum physical changes and self-image…

But you know, I know my capability, and I think I can deal with those risks and survive. I couldn't care less. 

It’s just.. for me, it’s not fair for my children to be born and raised in Indonesia, especially now that it is becoming a more and more inhuman place to live. 

Gw hidup di negara ini aja sekarang udah susah dan takut, nggak adil rasanya membawa another innocent souls into this chaos. They don’t deserve this. They don’t deserve Indonesia Gelap.

That being said, the only scenario yang make sense untuk punya anak adalah cari jodoh WNA dan migrasi ke LN—which what I’m going to do in the long run. Anywhere is better than here. 

Okay going back to the convo with 3 extroverts…

You know.. all of those statements.. semuanya very personal dan definitely ga akan gw share ke orang yang baru gw kenal. I can sense that all my points might sound controversial, jadi gw ga mau mereka malah argue atau nanya-nanya follow up questions yang bikin gw makin feeling attacked atau insecure, or worse: memberikan saran atau kritik on how I’m supposed to live my life. Hell no.

Jadi jawaban gw saat itu adalah: “I’ll let my husband decides.”

That just came instinctively because I needed to end this convo real quick.

Sekarang kalo dipikir2, jawaban gw jenius juga. Wkwk~

I mean, bukan bermaksud lari dari tanggungjawab. Seorang istri pada akhirnya harus mendengarkan apa kata suami kan? So, taichi aja. Nyehehe~

Anyway, my point is, gw sekarang masih ga tau mau punya anak atau nggak. But then I realize punya anak atau nggak itu keputusan bersama dengan calon suami gw nanti, ga cuma keputusan gw doang. 

Kalo sekarang gw masih 50%, ya tergantung suami gw nanti. Kalo dia mau punya anak, apakah dia bisa meyakinkan gw supaya skornya jadi 70% misalnya. Then let’s have kids.

Sebaliknya, kalo dia memilih child free, ya usaha aja nurunin skornya ke 1-49%. Then let’s spend the rest of our lives together, just the two of us. That’s also fine for me. 

So yeah, nampaknya kategori calon suami gw nanti cuma 2: 1) bule, 2) orang yang masih optimis sama masa depan Indonesia. Wkwk~

Dah ah. Gw mau nonton The Residence di Netflix. Butuh distraksi dari semua kabar buruk yang mengikis moral di luar sana.
 

Sunday, October 20, 2024

Me wassup #99: dark and difficult times lie ahead

Hi, guys! How yall doin?

First of all, RIP Liam Payne.

Damn. Gone too soon. 2024 is cruel.

The ultimate reunion the whole world expecting terjadinya di kuburan…

Such a dark joke.

Gw bukan Directioner tapi ikutan sedih karena adek gw udah nangis dua hari. Hari ini dia sakit, kayaknya karena itu juga.

Sebagai yang pernah ditinggalin idola juga (re: Aaliyah, Lisa ‘Left Eye’, Chester Bennington & Jonghyun Shinee), gw sangat mengerti gimana rasanya.

Yang bisa mengobati hanya waktu.

But one thing for sure, the legacy lives on. Selamanya akan diomongin dan dikenang sama semua yang sayang dan ingat 1D. 

So don’t worry, everything’s gonna be alright.

Hari ini pelantikan presiden baru. Era kegelapan Konoha officially dimulai. Wkwkwk~

Gw kira setelah ribut-ribut fififofo, wapresnya diganti. Ternyata sama aja. Padahal kalo diganti gw merasa optimis dikit sama presiden yang baru. Huff.

Dumbledore said: 

“Dark and difficult times lie ahead.”

Semoga bangsa ini baik-baik saja, dijauhkan dari segala keanehan. 

Anyway, ga cuma Konoha yang memasuki era kegelapan, kehidupan saya pun demikian. Fufufufu~

Rezim baru officially dimulai. Gw ga tau nasib gw ke depannya akan seperti apa. Too early to judge. Sepertinya sih akan ada pergesekan-pergesekan, blunder-blunder tipis (ga) lucu. Mungkin prinsip-prinsip hidup gw akan ditantang. Mungkin gw akan dihadapkan pada banyak pilihan sulit.

Dumbledore continued:

“Soon we must all face the choice between what is right and what is easy.”

Semoga gw terus diingatkan pada the importance of integrity and courage over convenience and self-interest. Semoga gw tetap stay true to my values, even when it is difficult or when the easier path might seem more appealing



True bravery involves making tough choices that align with one's principles. 

Bismillah.

*sigh*

Ini kedua kalinya lho gw dihadapkan pada situasi seperti ini dalam karier. Sebelumnya ini. Ckck~ 

The great Gee Oh Dee emang lagi hobi memberi cobaan ke gw taun ini. Jenis cobaannya sama, ugly feelings yang pernah gw rasakan beberapa taun yang lalu, harus gw rasakan lagi (sebelumnya gw ceritain di sini). Ibarat penyakit lama kambuh lagi~

Hopefully merasakannya berkali-kali bikin gw imun ya, bukan makin sakit. Heuheuheu~~

Anyway next topic: hdj (read: sdrawkcab)

Guys, kayaknya the whole hdj things tuh bukan buat gw deh~

I’m too fragile for this shit OMG~

Capek banget. Baru permukaan aja udah baper… Baru ‘hello’ aja udah bikin fanfic di otak~ Padahal kan ga boleh gitu ya~ I know!! Tapi settingan default gw tuh udah begitu…

Gimana dong???

Telat banget lagi baru tau hipotesanya sekarang~~

GIMANA NIH?????

I need help. SOS. Mayday mayday~ Aaaaakkkkk

Anyway……

Kemarin ada tweet yang masih berhubungan soal ini.

Di sini gw mau memberikan my 2 cents. Hehehe~~

Imo, yang dilakukan si cewek udah benar. Just leave that broke-ass scrub. 

Tapi, statement si cowok ada benarnya juga sih (menurut gw). Like if it happens to me, misalnya gaji gw lebih besar gitu, there’s a chance gw akan--bukan disrespect ya bahasanya, lebih ke nggak percaya~ Trust issue. Nggak pede sama dia. 

Unless setelah melihat kenyataan ini dia jadi termotivasi untuk menyeimbangkan itu ya, atau bahkan melebihi itu. Do something to make him worth more-lah. Then maybe gw masih bisa terima.

I mean.. Bukannya gw matre ya, it's not about the money. Believe me, insya auloh gw sebagai pribadi udah memasuki status comfortable, hehehe~ 

It’s just I want my S.O to be more/better in everything than me. More intelligent, more mature, more confident, kinder, wiser, wealthier, funnier. This way, I’ll feel safe and protected around him. I am confident with him. 

Soalnya gw kan akan menghabiskan sepanjang hidup bersama dia ya, through thick and thin. There are a lot at stake here. So many unforeseen circumstances. Kita kan ga pernah tau di masa depan itu apa yang akan terjadi. 

Dengan memilih partner yang lebih, lebih, dan lebih tadi, setidaknya gw akan lebih merasa aman. I will have someone who will protect me, because he’s better in everything than me. 

I’m setting the standard too high for myself ya? Wkwk~ Makanya ga dapet-dapet. Nyehehe~~

Sebenernya ga harus lebih yang gimana-gimana. Bukan karena insecure juga. I also find myself intelligent, mature, confident, kind, wise, wealthy, and funny. It’s just misal gw ada di level 8, this guy harus level 9-lah, atau 8,5-lah. Just slightly better already OK.

Okelah itu aja. 

Happy weekend all!
 

Sunday, October 29, 2023

Limits

Today I want to talk about limits.

Gw terbiasa jadi yang ter-ter di tempat kerja. Terbaik, terhebat, terpintar, terorganisir, terkuat, tersabar, tercepat, tersolutif, terlogis, ter-tak terkalahkan, dll. I am an Ace and people recognize that. 

I go places with being an Ace. Bisa dapetin dream job, akses ke VVIP, dikasih project2 besar, keren, harapan bangsa that no one else could do..

Selama ini gw belum pernah merasa pekerjaan itu berat, karena kapasitas otak gw besar. Knowledge, skillset, dan pengalaman gw yang tidak kaleng-kaleng menjadi modal utamanya. 

Mungkin gw masih punya beberapa kekurangan, tapi cuma minor. Selalu bisa diatasi dengan logika dan akal sehat. Ya, faktor penting lain yang membuat gw hebat adalah gw selalu melakukan pekerjaan dengan logika dan akal sehat—dibarengi dengan hati yang tulus dan ikhlas because this job isn’t only mine, but other people's as well. I always make sure they are happy, well-treated, and respected. 

Dengan semua modal itu, tidak ada yang tidak bisa gw kerjakan. Tidak ada masalah yang tidak bisa gw selesaikan. Pasti selalu bisa. I have no limit.

Well, that’s what I thought… until Errthing happens. 

Baru-baru ini limit gw diuji. 

Bukan soal fisik, bukan soal masalah dan solusi, bukan soal kualitas dan kuantitas kerja, tapi soal logika dan akal sehat. 

Gw dipaksa bekerja di luar logika dan akal sehat. Bukan cuma kerjaannya, tapi juga atasan, rekan-rekan dan sistem yang bodoh dan konyol. 

Like… Because I’m smart, I know for sure these people and systems are wrong. I know for sure this project will fail because of those, but I can’t do anything because I’m not in the management~ I have no right to change things because I’m no decision maker~

As expected, dugaan gw benar. Hari-hari menuju hari H, everything was crumbling. Kacau hancur berantakan. Pure chaos. Everyone became animals. Liar dan tak terkendali. Setiap hari menyerang gw seperti singa kelaparan bertemu mangsanya. Tidak ada lagi logika dan akal sehat, hanya panik dan emosi yang membabi buta. 

Ini terjadi setiap hari. My heart raced and it felt hard to breathe. Asam lambung naik, nafsu makan hilang, berat badan turun drastis. The stress was chronic and overwhelming. 

Even so, when it comes to physical challenges, gw masih bisa tackle. I could still wake up in the morning, grab my 3kg laptop bag, go to work, and function normally. 

But mentally and emotionally… not so much~

This week for the first time ever in 12 years of career… gw menangis karena pekerjaan. 
 
Bukan sekali, bukan dua kali, siang dan malam dua minggu berturut-turut.

Sekuat apapun gw berusaha menahan air mata itu untuk keluar, ga pernah bisa. Semakin ditahan pun semakin sesak. I really can’t hold it anymore. 

I soon realized… that was my limit. 

Ketika semuanya falling apart karena logika dan akal sehat sudah tidak ada, yang terkuat pun terkalahkan.



Kejadian kemarin membawa pelajaran penting buat gw. Now I know I have a limit. I am more aware of my capabilities. I can recognize when I’m reaching the extent of what I can handle. 

I understand more about my strengths, weaknesses, and boundaries. Next time I can make conscious decisions about what tasks or activities I can realistically take on.

Now, the next question is… is it okay to have a limit? What should I do with it?

Should I break it, go beyond, and take on more challenges even though it will cost me another mental breakdown? Or should I lay low and just let it be?

Please do enlighten me. 

Monday, January 2, 2023

Last day of holiday

 Hi guys! How yall doin?

Aaaaakkkk holiday segera berakhir in a few hours….

Fyi, gw baru dikasih 4 hari libur sama kantor. Solid 4 hari. Jumat-Senin. Duh. Luv banget. And I ain’t waste a single day. Tiap hari jalan2. Mulai dari Kamis malam nonton Avatar: The Way of Water (keren banget, guys!! Ntar gw cerita dikit di bawah), Jumat berburu diskonan di midnight sale GI (lumayan dapet beha baru, new year new bra!), Sabtu di rumah aja kirim2 happy new year ke orang2 sambil nungguin pergantian tahun ditemenin sama berisiknya petasan2 komplek, Minggu impulsif ke PIM buat nyari jaket puffer buat nyokap yang mau ke Turki, dapet bonus beli sunglasses buy 1 get 1 di Optik Melawai—buat ke HK bulan Maret. ihiy!

Quick review Avatar: The Way of Water



I FUCKING LOVE IT!

Keren banget gaes! Ga sia-sia James Cameron bikin film 11 tahun. Ga ada celah lho, solid 10/10!

Kayak all the reasons you go to the cinema, or all the reasons you watch movies, ada di Avatar gitu. For the cinematography, for the story, for the characters, for experience, for escape, everything, akan terjawab dengan nonton Avatar.

Gw mayan nyesel ga nonton di IMAX. Telmi sih, jelas2 di judulnya ada kata 'water', ya pasti ada adegan dalem airlah, ga mungkin bisa dinikmati hanya dengan 2D! 

Kemarin gw nontonnya di Premiere. Soalnya filmnya kan 3 jam ya. Takut backpain aja sih, maklum wis tuwir. Wkwk~

Setelah nonton, baru berasa rugi nonton 2D. Jadi saran gw buat yang belom nonton, nonton di IMAX, guys. Yang mau nonton 2x boleh sih, satunya di IMAX. Rasakan perbedaannya. 

Today Senin, lumayan well-spent juga walaupun di rumah ajah. Nonton YouTube—karena Netflix dan Disney+ gw lagi ga bisa—MacOS kudu di-upgrade. Huhuhu~

Gw nontonin Lapor Pak! yang ternyata lucukkk bangettt~~ Ternyata Lapor Pak! udah ngetop dari tahun 2021 ya? Dooohhh kemana aja sih gw?? Yang kayak gini-gini pasti telat. Kemarin tau The Prediksi telat, sekarang Lapor Pak! telat juga~

Ya maaf guys, 2020-2021 saiia sibuk jadi bucin QQ. Dunia gw hanya berputar di drakor, dracin, anime. Mana sempet memperhatikan jagat hiburan tanah air~ Sekarang nih baru. Going hyperlocal gara-gara kerja di Errthing. Gapapa. Seeta otw menjadi Indonesian entertainment expert!

Selain Lapor Pak! gw juga lagi demen duo bapak-anak Gading & Gempi. 



Doooohhh… Mereka tuh yaaa… TOO CUTE!!! Ya Allah berikan gw jodoh seperti Gading yang bisa babo banget kalo udah ketemu anaknya, apalagi anak perempuan~ 

GISEL DASAR LU YA~~ PUNYA LAKIK KEK GADING DISIA-SIAIN!!! (owhhh nge-judge~ wkwk)

Dan gw pengen punya anak kayak Gempi plisss~~ Cangtippp bangettt, dooohhh~~ Gennya Roy Marten ga maen-maen. Si Gempi tuh mukanya muka Gading tapi thank God kulitnya kulit Gisel. Hahaha~~ Dan Gempi pinter banget kakk, anak 7 tahun udah mengerti konsep gimmick tuh kek manaaa~~ hahaha

Dibesarkan di keluarga artis juga bikin Gempi nyaman depan kamera. Di YouTube atau acara TV, ngomongnya pinter dan ga jaim, tapi tetep cool. Rafathar tuh somewhat masih suka ada ekspresi ga nyaman dengan adanya kamera 24/7 (mungkin karena udah terlalu sering) dan ga lepas ngomong, Gempi bisa manage herself in front of cameras and do well in interviews, both in Indonesian and English. 

Amazing-nya Gempi ga berenti sampai situ. Walaupun pintar dan mengerti lebih banyak untuk anak-anak seumurnya dan terkesan lebih dewasa dari umurnya, kekanakkan-nya ga ilang sih. She still acts like 7 yo kid. Kudos to Papa Gading dan Mama Isel untuk parenting-nya.

Anyway, tadi sempet yoga, vinyasa yang alon-alon tapi maknyesss. Entah udah berapa minggu ga yoga. Sejak sakit itu kalo ga salah, ditambah malas, dan kebanyakan acara. 

Tapi kalo ada yang gw banggain dari diri gw di tahun 2022, itu adalah mau start yoga dan actually ditekuni seminggu sekali. Yoga terbukti ampuh sih buat my overall well being lebih balance dan pikiran lebih jernih. Emosi juga jadi lebih stabil. Semoga 2023 yoganya ga bolong2 dan actually mau invest buat yoga class. Karena selama ini masih by YouTube nih, too cheap ass buat ikut kelas yoga. Kan sama aja gerakannya. Nyehehehe~~

Tapi setidaknya udah invest di baju dan yoga mat kok. Little by little ya.

Besok ngantor. *sigh*

Gw udah overthinking dari kemarin malem to the point harus brainswash myself bahwa besok adalah hari yang menyenangkan: ketemu tim gw yang lucu dan caem, bisa beli kopi favorit di Kopi Kenangan (Kenangan milk tea + extra shot), dan ini masih hawa2 liburan—orang2 masih kerja in slower motion. 

Soalnya the idea of ketemu orang2 Errthing yang lebih banyak yang ga gw sukanya daripada sukanya itu… it stinks! Semoga Errthing lebih banyak tobatnya tahun 2023 deh. 

Speaking of 2023, beberapa target yang ingin gw achieve antara lain:
1. Belajar jahit
2. Ikut yoga class berbayar
3. Bungee jumping 
4. Bikin tato
5. Konsultasi ke psikolog/psikiater
6. Nikah

No 3 udah pasti achieve bulan Maret. No 4 insya auloh achieve setelah Lebaran/pertengahan tahun. No 2 kita lihat sambil jalan—harusnya doable karena deket rumah ada yoga class 35k aja. No 5 adalah saran Rini yang mungkin ada bagusnya. Karena hidup gw sebagian besar waktunya dihabiskan di Errthing yang mana sering membuat gw stress dan mengganggu mental health. Gw jadi sering anxiety dan tiap pagi asam lambung gw naik.

Impact-nya gw jadi harus sering2 healing—bisa seminggu sekali healing, just to keep me sane. Nah, No 5 itu gw harap bisa menjadi solusi supaya ga sering-sering healing. Harapannya expert bisa identifikasi sebenernya masalah gw apa sehingga ditemukan metode healing yang tepat. 

And uhm… No 6? No comment. Nyehehehe~~

Udah ah itu aja. Later, bitches!

Saturday, September 4, 2021

Bahas Covid

 Hi, y’all~ how ya doin?

Tudei sesuai judulnya mau bahas Covid. I know this topic sucks, kayak ga ada topik lain aja, pasti isi postingannya sedih/menyebalkan, blablabla. I know, gw pun males sebenernya bahas Covid, tapi I feel like I really need to address this because it’s important.

Sebelumnya gw sering bahas Covid di postingan2 lain di blog ini, tapi ga bahas secara mendalam. Kayak sekenanya aja, sebagai konteks kegiatan2 lain yang gw lakukan.

So it’s time for the one and only, the master villain, the-thing-who-must-not-be-named, the ultimate enemy of humanity, to be addressed… properly.

Covid sudah menghancurleburkan kehidupan manusia 1,5 tahun terakhir. Wabah yang tadinya kita kira hilang dalam hitungan minggu, ternyata multiply jadi bertahun2 dan sampai sekarang pun ga ada kepastian kapan selesainya. 1,5 tahun sudah kita hidup dalam uncertainties karena Covid, and it sucks.

Gw belakangan suka kepikiran kalo ga ada Covid, gimana ya hidup gw sekarang? Apakah gw masih di Dian, atau udah pindah ke QQ, atau bahkan ke tempat lain? Apakah gw udah traveling ke tempat2 yang belum pernah gw datengin sebelumnya? Apakah gw ketemu orang2 yang nggak pernah terbayangkan sama gw sebelumnya? Apakah gw melakukan sebuah breakthrough yang bener2 life-changing? Semua kesempatan2 berharga yang hilang karena Covid~

Semakin dipikir, semakin berasa halu. Realitanya Covid ini adalah the new normal. Jadi ekspektasi harus ditekan dan disesuaikan. 

Stance gw akan Covid sendiri fluktuatif dari waktu ke waktu. Ada kalanya gw parno banget, ga berani keluar rumah, masker sampe didobel, belum lagi beli APD mahal a.k.a raincoat Gorman, hand sani selalu di kantong, semua barang yang mau gw sentuh disemprot dulu, puasa social media karena ga mau denger berita2 negatif soal Covid, baik itu kasus yang terus bertambah atau berika dukacita lainnya. 

Perlahan2 bosen dan menjadi fearless. Mulai keluar rumah, ke kantor, ke mall, staycation, naik busway/MRT, olahraga di GBK, nonton bioskop, dll. Ya kayak ga ada Covid aja~

Kemudian gelombang 2 datang dengan Delta varian sebagai bintang utamanya. Angka kasus sampai puluhan ribu sehari. Kita “dirumahkan” lagi. Kirain sebentar ternyata lama~ Sekarang udah mau 3 bulan~ 

1-2 bulan pertama masih fine2 aja. Bulan ke-3 mulai stress~ Sungguh ingin keluar rumah yaoloh~ 

Tapi dalam stress management karena Covid, gw termasuk orang yang beruntung karena bisa dengan cepat cari coping mechanism. Waktu gelombang 1, coping mechanism gw adalah TikTok. Sekarang gelombang 2, coping mechanism gw adalah online shopping. Segala barang ga penting gw beli, bikin nyokap ngomel2 karena menurut beliau sangat tidak wise untuk spend money beli barang2 ga penting saat pandemi gini. 

Tapi bodo amatlah, as long as gw bisa bertanggungjawab akan barang2 itu, it should be fine. Namanya coping mechanism, dia bekerja selayaknya pengobatan dokter. It heals and helps maintain my emotional well-being—which is sesuatu yang tidak boleh di-ignore saat pandemi gini. Kejiwaan semua orang literally terganggu. 

Ketika kejiwaan lo terganggu, elo ga bisa berpikir lurus. In times of acute stress, we really DON'T think straight. It can lead to racing thoughts, make your thinking seize up, or cause you to think less positively about situations. 

Akibatnya, kalo diajak ngomong ga nyambung, kalo bikin decision salah. Yang terakhir itu gw alami banget waktu mau cabut dari QQ. Itu decision yang di-fuel oleh stress. Ga kebayang sih kalo gw jadi cabut, sekarang gw harus probation di kantor baru, yang mana berisiko bisa di-cut kapan aja tanpa perusahaan kasih pesangon~ Nope, simply can’t afford probation. 

Key takeaway here: hindari membuat keputusan yang life-changing (apalagi kalau keputusan lo berdampak juga ke orang lain di sekitar lo) ketika pandemi. Karena elo most likely sedang stress (walaupun ga sadar) saat membuat keputusan. You are not thinking straight.

Jadi guys, segeralah cari coping mechanism kalian. Jangan biarkan stress berlama2 menguasai diri kalian karena itu bisa menurunkan imunitas—which is sasaran utama si Covid. 

Covid is so much like natural selection—seleksi alam. Dia ga pandang bulu, siapa aja diserang. It’s just the matter of how strong our immune system is. Kalo imun lo kuat, ya survive. Kalo imun lemah, ya byebye~

Covid ini ga ada obatnya, ini yang membuat dia sangat berbahaya. Dia bukan flu yang gejalanya sama dimana2: bersin-bersin, hidung mampet, badan panas, pusing, etc sehingga bisa disembuhkan dengan obat paten.

Gejala Covid beda2 buat setiap orang karena virus ini pintar, dia bisa analyse titik kelemahan setiap orang. Itu yang dia serang. Hence, gejala yang lo alami, akan beda sama yang gw alami.

That’s why banyak orang terkecoh—nggak sadar kalau dirinya Covid, hanya karena gejalanya berbeda dengan gejala orang lain. Akibatnya, dianggap sepele, tidak segera tes, tidak isoman, berkeliaran kemana2 dan menularkan orang lain.

So guys, patuhi prokes sekusyuk mungkin ya. Do it for others—this should be your motivation. Those people around you, be it your family, your friends, your colleagues, or even those strangers you meet at the restaurant, sitting beside you in MRT, kurir Syopi, abang GoFood/GrabFood, the medical staff who give you the vaccine, etc.

Their lives matter. Our lives matter.

Get vaccinated. Comply with health protocols. Find your coping mechanism. Create your own happiness. 

And finally, quoting a powerful line of my favorite anime Tokyo Revengers, I’m gonna say the same thing Takemichi said to Baji before Bloody Halloween. 








Please don’t die.

Have a good weekend!

Friday, August 14, 2020

Nearly Always Right

 Hi, guys! How y’all doin?

Ada berita alumni beasiswa Purpose disuruh mengembalikan dana beasiswa senilai hingga 700 juta, karena ybs ga pulang dan mengabdi di Indonesia setelah studinya selesai. In fact, she isn’t the only one, ternyata ada 50 orang lebih yang nasibnya serupa.

 

I was like… damn~~ The system works!

 

Gw kira selama ini sistemnya bobrok, karena banyak juga temen2 gw yang menolak balik ke Indo setelah lulus. Ada yang merit sama orang Osi, keterima kerja di sana walaupun kerjaan serabutan (yang penting pay the bills), merasa lebih cocok tinggal di sana dibanding di Indo, dan alasan2 lainnya~

 

Lucunya, mereka ga kedeteksi tuh, sampai sekarang masih aman sentosa tinggal di Osi. Lalu kenapa cuma si cewek itu dan 50 orang lainnya yang ketauan dan disuruh bayar denda? Gimana sih mereka mendeteksinya? Kenapa temen2 gw ga ketangkep?

 

Anyway.. yang mau gw bahas sebenernya bukan itu, lebih ke hubungannya kejadian ini sama gw.

 

Gw inget banget waktu gw kuliah di Osi, ga pernah sedikitpun terlintas di pikiran gw untuk ga pulang ke Indonesia. Ya, gw se-idealis, secinta Indonesia, dan sepede itu. Gw merasa berhutang ke negara karena udah ngebiayain gw kuliah, sehingga gw harus membalasnya dengan bekerja di Indonesia, karena dengan bekerja di Indonesia:

 

1. Ilmu yang gw dapatkan bisa langsung diterapkan lewat perusahaan manapun yang akan menjadi playground gw nantinya dan bersama2 kita menggerakkan roda ekonomi Indonesia

 

2. Gw membayar pajak penghasilan yang bisa dipakai untuk menyejahterakan rakyat Indonesia

 

That’s the least thing I could do for my country dalam konteks “bayar utang” beasiswa. The best thing-nya adalah bekerja sesuai dengan jurusan kuliah gw—namun pada kenyataannya sulit diwujudkan karena lapangan pekerjaannya tidak semudah itu untuk dimasuki. So for now, I’d just stick to the least thing.

 

Waktu itu ga ada keraguan sama sekali dalam diri gw untuk nggak pulang. Yes living in Melbourne is really nice and all that, but I have to go home.

 

Padahal gw bisa aja mengakali kepulangan gw itu dengan berbagai cara, cari internship misalnya yang bisa extend visa up to 6 months, atau apply for work holiday visa yang bisa extend visa up to 1 year. Tapi 2 opsi itu ga gw lakukan. Keputusan gw untuk pulang firm banget.

 

Setelah pulang ke Indo, hidup ga berarti jadi lebih gampang. Cari kerjaan susah, gw ga berhasil dapetin kerjaan yang gw mau, kembali ketemu drama2 kehidupan yang stressful, ketemu orang2 yang gw benci, masalah ekonomi, banjir, dan lainnya~

 

Menyesal pulang? Tentu saja, apalagi pas gw ke Osi tahun lalu, semua orang pengen gw balik, makin menyesal deh~ Sempet pengen impulsif apply work holiday visa, tapi urung karena umur.

 

So I carry on with my life in Indo.

 

Dan ternyata… itu sebuah keputusan yang tepat!

 

Have I stayed in Osi and not coming back… nasib gw akan seperti si cewek itu!

 

Gila~ Ngebayanginnya aja serem, it’s like being an international fugitive!

 

Sometimes, it’s very mind-blowing that this kind of circumstances happens. I mean, satu hari kita bisa menyesali keputusan, hari lainnya kita tersadarkan atau pada akhirnya mengetahui bahwa keputusan yang kita buat itu ternyata tepat.

 

Idealisme gw untuk pulang ke Indonesia kala itu, menyelamatkan gw dari malapetaka besar didenda pemerintah.

 

Ini sama kasusnya dengan ketika gw proses rekrutmen sama Hooq Indonesia. Udah setengah jalan rekrutmen, eh ga ada kabar. Waktu itu pengen banget rasanya gw telpon bosnya Hooq, karena kebetulan udah tukeran nomer, buat menanyakan kelanjutannya. Tapi niat itu gw urungkan, and again I carry on with my life.

 

Eh... Hooq gulung tikar 2 tahun kemudian.

 

Keputusan gw tepat lagi.


Same thing happened ketika gw diterima kerja di Bekraf pas baru balik dari Osi. Ini belum pernah gw ceritain sebelumnya di blog ini, but yeah gw diterima kerja di Bekraf tepat 2 minggu setelah gw pulang dari Osi. 


Hampir gw ambil, karena gw mau langsung kerja sebaliknya ke Indonesia. Ga mau jadi pengangguran dalam waktu lama (udah ngerasain, trauma banget). Selain itu, Bekraf waktu itu lagi shining2nya dengan segala program2nya.


Tapi akhirnya ga gw ambil. Alasan utama karena gaji (sorry not sorry), kedua karena role yang gw dapatkan di sana tidak sesuai passion, background pendidikan dan pengalaman kerja, ketiga karena status gw di sana honorer saja, bukan pegawai tetap~


Eh... Bekraf dibubarin di periode kedua Jokowi~


Another mind-blowing decision-making experience. 

 

Pengalaman2 kayak gini sedikit banyak mengingatkan gw pada quote-nya Remus Lupin di HP7.

  

“And I’d tell [Harry] to follow his instincts, which are good and nearly always right.” Harry looked at Hermione, whose eyes were full of tears.

 

“Nearly always right,” she repeated.

 

Ya, gw pun begitu, keputusan yang berat dijalankan dan banyak konsekuensinya itu, insting gw itu… nearly always right.

 

So yeah, in the future, I will still follow it. :)


Wednesday, August 30, 2017

Some truths

Hi, guys! How y’all doin?

Hari ini cheat day gw lagi~ wkwk~

Seharian ga mau nyentuh assignment~ Kerjaan gw dari tadi makan, ke groceries, masak (kentang goreng n nugget), nonton Conan, nonton Hana Kimi (lagi butuh ketawa instan soalnya), dan bocica (bobo ciang cantik)~

Biar agak produktif dikit ngeblog deh~

Yang mau gw bahas sekarang sebenernya berhubungan sama postingan gw tentang depression. Ini semacam follow up post-nya, well not exactly sih, tapi bisa dibilang gitu.

First of all, gw mau minta maaf bahwasanya di postingan itu gw seperti men-generalisasi bahwa postgraduate likely menyebabkan depresi, atau stress. I’m really sorry for being selfish and made everything about me. The cause of depression simply bukan karena hal sesimpel tugas2 sekolah/kuliah yang kebanyakan/terlalu susah, it’s a lot deeper, more personal and complex than that. Jadi bener2 ga bisa digeneralisasi. I am so sorry~

Depresi juga ga ada hubungannya dengan balance life, seperti yang gw tulis di postingan itu. Ada orang yang hidupnya berkecukupan, badannya sehat, keluarganya harmonis, berprestasi di sekolah, temannya banyak, tapi tetap aja depresi. Once again, I am really sorry for being so self-centered~

Personally, gw ga pernah mengalami depresi. Gw HAMPIR depresi, which is yang sekarang mau gw bahas di postingan ini. Some unimportant truths about me.

Tadinya gw ga suka bahas hal yang terlalu personal kayak gini di blog. Tapi belajar dari pengalaman orang2 yang depresi. Mereka cenderung ga mau cerita ke orang lain akan masalahnya, akhirnya end up doing something stupid~ So yeah, here I am in an attempt of not doing the same thing.

Just like another human being I had ever been in the lowest point of my life. Back in the end of 2014/early 2015, I had anxiety (sort of, at least that was what I diagnosed myself based on excessive worry and panic I’d been experiencing). I thought it was just another bad days/bad mood, so I did not go to see the doctor. I did not tell my parents/best friends. I did not take any medication. I handled it quietly all by myself.

Sama sekali ga pernah terpikirkan sama gw bahwa anxiety yang gw rasakan itu bisa berujung pada depresi. Mungkin gw beruntung, karena otak gw mengartikan anxiety itu sebagai galau semata. Sepele banget. Ga perlu dibesar2kan.

Galau obatnya buat gw ya YouTube~ Tapi sayangnya kala itu YouTube ga ampuh mengobati gw~ Akhirnya gw terpaksa menggali lebih dalam apa yang terjadi sama gw. Basically waktu itu situasinya gw udah kerja 3 tahun lebih di XXXXX, udah mengalami suka duka kerja di majalah, udah naik jabatan, udah dikasih tugas2 berat, udah semuanyalah pokoknya. Terus ya as expected pertanyaan laknat itu muncul:

Now what?

Sebenernya sih bisa aja gw ignore itu pertanyaan. But life hit me hard by giving me receipts of my friends’ achievement. Temen2 gw… literally… udah punya segalanya in terms of career. Udah keliling dunia, udah jadi bos, udah punya usaha sendiri, udah kuliah S2 & S3, udah kerja di berbagai perusahaan, udah bikin buku, udah punya acara TV sendiri, udah bikin film, udah foto sama presiden, udah punya gaji gede…

Kok gw masih gini2 aja?

Ini ada yang salah sama hidup gw sih.

Yang kepikiran sama gw waktu itu sih gw harus resign secepatnya dari kerjaan gw kala itu, cari tempat baru yang beda banget sama kantor lama. Just so I knew where my niche was and at the same time broadened my perspective coz I’d been living in the bubble for so long.

Tapi resign tentu bukan sebuah proses yang mudah. Banyak konsekuensi, banyak tanggungjawab yang harus diselesaikan, dan tentu saja at the same time harus cari kerjaan baru. Yang terakhir pe-er banget ketika gw sadar kualifikasi yang gw miliki walaupun istilahnya udah malang melintang di kantor sebelumnya, ga bisa memenuhi persaingan global sesuai tuntutan zaman. The world is damn competitive right now.

Let’s just say there’s this one particular company yang gw bener2 aiming untuk bisa masuk sana. But my qualifications were pretty much invisible to them. Gw coba sekali (posisi yang gw pengen), dua kali (posisi lain), dan tiga kali (kali ini pake internal referee), masih tetap invisible~ Sekalinya gw visible, posisi yang gw pengen udah direbut orang lain~

Pun setelah akhirnya gw dapet kerjaan baru yang awalnya gw kira could make me spread my wings and fly higher, ternyata gw ga bisa total menjalankannya karena gw menyadari bahwa my heart ga di situ. Seperti ikan yang kecemplung di kolam yang salah. Masih bisa hidup, tapi hidupnya ga punya tujuan. Ga enjoy, ga bisa main, ga bisa berkembang biak, ga bisa cari temen, ga bisa eksplor bagian2 lain di kolam karena bukan teritorinya atau simply dia ga mampu untuk kesana~ Jadi ga tau mau dibawa kemana hidupnya~

Begitulah gw~ Tiap hari gw bangun pagi dan menjalani hari kayak robot. Kerja pake otak dan tenaga doang, tapi ga pake hati~

Then the same old anxiety stroke again as expected. Galau lagi. Panik lagi.

Now what?

I’m so conflicted, haruskah gw kembali ke yang lama? Atau stay di tempat baru tapi setiap hari suffering? Atau apa?

There was definitely a missing piece on my life puzzle. Even until now, I still don’t know where to find it. But the least thing I could do –at least yang kepikiran sama gw waktu itu- adalah I gotta upgrade myself. Gw harus meng-upgrade skill gw dalam mencari missing puzzle itu. Dengan begitu, mungkin chance gw untuk menemukannya lebih besar. Jadi in the future gw ga akan galau2 ga jelas lagi. Ga akan panik lagi.

That’s how my journey with this scholarship goes, yang gw yakini bisa membantu gw untuk meng-upgrade diri. The journey is gonna end in couple of months and then I have to go back in search of my missing puzzle. Finger crossed gw bisa menemukannya, no, gw HARUS menemukannya! No excuse! No room for doubt!

So, as lame as it sounds, doakan gw ya.

***

Disclaimer:


-->
Before y’all shady scholarship haters judging me, of course this story is not the whole reason why I signed up for the scholarship, like I said before I just some truths that might give wider context to the decision. Some truths that I expressed just so I know I’m not alone, because as I am telling you this story, I am including you in my life, trusting you to understand my situation and maybe, just maybe, can give me a hand just in case I am suffering again someday. That’s it.