Sunday, December 17, 2023
Weird Week
Sunday, December 26, 2021
Now we are breaking up [part 2]
Sunday, December 19, 2021
Now we are breaking up [part 1]
Saturday, December 18, 2021
Expect Disappointment
Friday, August 14, 2020
Nearly Always Right
Hi, guys! How y’all doin?
Ada berita alumni beasiswa Purpose disuruh mengembalikan dana beasiswa senilai hingga 700 juta, karena ybs ga pulang dan mengabdi di Indonesia setelah studinya selesai. In fact, she isn’t the only one, ternyata ada 50 orang lebih yang nasibnya serupa.
I was like… damn~~ The system works!
Gw kira selama ini sistemnya bobrok, karena banyak juga temen2 gw yang menolak balik ke Indo setelah lulus. Ada yang merit sama orang Osi, keterima kerja di sana walaupun kerjaan serabutan (yang penting pay the bills), merasa lebih cocok tinggal di sana dibanding di Indo, dan alasan2 lainnya~
Lucunya, mereka ga kedeteksi tuh, sampai sekarang masih aman sentosa tinggal di Osi. Lalu kenapa cuma si cewek itu dan 50 orang lainnya yang ketauan dan disuruh bayar denda? Gimana sih mereka mendeteksinya? Kenapa temen2 gw ga ketangkep?
Anyway.. yang mau gw bahas sebenernya bukan itu, lebih ke hubungannya kejadian ini sama gw.
Gw inget banget waktu gw kuliah di Osi, ga pernah sedikitpun terlintas di pikiran gw untuk ga pulang ke Indonesia. Ya, gw se-idealis, secinta Indonesia, dan sepede itu. Gw merasa berhutang ke negara karena udah ngebiayain gw kuliah, sehingga gw harus membalasnya dengan bekerja di Indonesia, karena dengan bekerja di Indonesia:
1. Ilmu yang gw dapatkan bisa langsung diterapkan lewat perusahaan manapun yang akan menjadi playground gw nantinya dan bersama2 kita menggerakkan roda ekonomi Indonesia
2. Gw membayar pajak penghasilan yang bisa dipakai untuk menyejahterakan rakyat Indonesia
That’s the least thing I could do for my country dalam konteks “bayar utang” beasiswa. The best thing-nya adalah bekerja sesuai dengan jurusan kuliah gw—namun pada kenyataannya sulit diwujudkan karena lapangan pekerjaannya tidak semudah itu untuk dimasuki. So for now, I’d just stick to the least thing.
Waktu itu ga ada keraguan sama sekali dalam diri gw untuk nggak pulang. Yes living in Melbourne is really nice and all that, but I have to go home.
Padahal gw bisa aja mengakali kepulangan gw itu dengan berbagai cara, cari internship misalnya yang bisa extend visa up to 6 months, atau apply for work holiday visa yang bisa extend visa up to 1 year. Tapi 2 opsi itu ga gw lakukan. Keputusan gw untuk pulang firm banget.
Setelah pulang ke Indo, hidup ga berarti jadi lebih gampang. Cari kerjaan susah, gw ga berhasil dapetin kerjaan yang gw mau, kembali ketemu drama2 kehidupan yang stressful, ketemu orang2 yang gw benci, masalah ekonomi, banjir, dan lainnya~
Menyesal pulang? Tentu saja, apalagi pas gw ke Osi tahun lalu, semua orang pengen gw balik, makin menyesal deh~ Sempet pengen impulsif apply work holiday visa, tapi urung karena umur.
So I carry on with my life in Indo.
Dan ternyata… itu sebuah keputusan yang tepat!
Have I stayed in Osi and not coming back… nasib gw akan seperti si cewek itu!
Gila~ Ngebayanginnya aja serem, it’s like being an international fugitive!
Sometimes, it’s very mind-blowing that this kind of circumstances happens. I mean, satu hari kita bisa menyesali keputusan, hari lainnya kita tersadarkan atau pada akhirnya mengetahui bahwa keputusan yang kita buat itu ternyata tepat.
Idealisme gw untuk pulang ke Indonesia kala itu, menyelamatkan gw dari malapetaka besar didenda pemerintah.
Ini sama kasusnya dengan ketika gw proses rekrutmen sama Hooq Indonesia. Udah setengah jalan rekrutmen, eh ga ada kabar. Waktu itu pengen banget rasanya gw telpon bosnya Hooq, karena kebetulan udah tukeran nomer, buat menanyakan kelanjutannya. Tapi niat itu gw urungkan, and again I carry on with my life.
Eh... Hooq gulung tikar 2 tahun kemudian.
Keputusan gw tepat lagi.
Same thing happened ketika gw diterima kerja di Bekraf pas baru balik dari Osi. Ini belum pernah gw ceritain sebelumnya di blog ini, but yeah gw diterima kerja di Bekraf tepat 2 minggu setelah gw pulang dari Osi.
Hampir gw ambil, karena gw mau langsung kerja sebaliknya ke Indonesia. Ga mau jadi pengangguran dalam waktu lama (udah ngerasain, trauma banget). Selain itu, Bekraf waktu itu lagi shining2nya dengan segala program2nya.
Tapi akhirnya ga gw ambil. Alasan utama karena gaji (sorry not sorry), kedua karena role yang gw dapatkan di sana tidak sesuai passion, background pendidikan dan pengalaman kerja, ketiga karena status gw di sana honorer saja, bukan pegawai tetap~
Eh... Bekraf dibubarin di periode kedua Jokowi~
Another mind-blowing decision-making experience.
Pengalaman2 kayak gini sedikit banyak mengingatkan gw pada quote-nya Remus Lupin di HP7.
“And I’d tell [Harry] to follow his instincts, which are good and nearly always right.” Harry looked at Hermione, whose eyes were full of tears.
“Nearly always right,” she repeated.
Ya, gw pun begitu, keputusan yang berat dijalankan dan banyak konsekuensinya itu, insting gw itu… nearly always right.
So yeah, in the future, I will still follow it. :)
Sunday, June 21, 2020
PROYEK TOKAI
Sorry guys, ini harus dilampiaskan.
I love working with people. I love observing people’s characteristics through the working environment. It’s always fun—I thought~
Until this project happened.
Yang mau gw omongin hari ini adalah pengalaman kerja sama orang. Ga usah di-throwback dari jaman kerja di XXXXX, udah terlalu banyak, fast forward kerja di Dian aja, particularly in this project.
Oke so, gw kebagian sebuah project, first time ever in history ngegawangin creative development dari KV dan TVC untuk sebuah campaign jangka pendek. Kita sebut saja proyek ini dengan nama Proyek Tokai.
Tadinya gw kasih nama proyek sembelit, karena ngerjain proyek ini rasanya kayak sembelit—pengen boker ga keluar2~ But then kalo pada akhirnya proyek ini selesai ga bisa pake kata sembelit lagi dong, jadi ganti nama jadi Proyek Tokai.
Okay so, dari awal proyek ini udah rawan.
Campaign-nya adalah campaign regional. Biasanya kalo campaign dari regional, asetnya dibikinin sama mereka dan lokal tinggal localize. Tapi, kali ini nggak. Bos-bos gw (plural ya, banyak bos) di lokal, pengen kita bikin asetnya sendiri—alasannya karena aset dari regional tidak sesuai dengan market Indonesia.
Oke, make sense. Tapi ini kali pertama hal ini terjadi. Akankah semua baik2 saja? Apakah regional akan oke campaign mereka diambil alih kreatifnya oleh lokal?
By theory: Oh sure, we’re okay, please go ahead.
In reality: HELL NO, BITCHES! WE WILL MAKE YOUR LIFE LIKE HELL.
Begitulah abstrak yang terjadi, sodara-sodara.
Regional bukannya membantu, malah menyusahkan. Kita akan bahas lebih lanjut di bawah ya.
Now moving on to technicality, tantangan nomer 2 adalah the people I work with, dalam hal ini adalah sebuah creative agency—kita sebut saja DOOMED AGENCY aka DA.
Ini pertama kalinya gw kerja sama creative agency yang bener2 intens gw gawangin. Dulu pernah tapi ga se-intens ini.
Okay so, proyek ini serba mepet. Bikin KV & TVC waktunya dari pitching ide sampe produksi cuma 1,5 bulan. Untungnya kita ga harus pitch agency, langsung tunjuk aja.
By theory: Enak nih, bisa lebih cepet dan lebih enak tektokannya.
In reality: &%#@*&%#)@!#%$#@&?>$#^~
Gila men, kalo ada the worst kind of people yang gw pernah kerja bareng, itu hands down orang2 dari creative agency. Maybe gw bias ya karena cuma mengacu pada pengalaman proyek ini aja, tapi gw pernah ketemu dan meeting sama creative agency serupa dan I swear to God, they were as worse!
Pertama, mereka itu sotoynya luar biasa. Berasa paling kreatif, berasa paling pinter, berasa paling inovatif…… to the point ga mau dengerin kata klien~
Along the way I go back and forth to DA for revision, each time gw menerima sangkalan, pembelaan diri, dan malah dikuliahin~
I WAS LIKE.. FUCK THIS SHIT! YANG KLIEN SIAPA SIH~
Kalo artwork yang kita pengen ga sesuai dengan idealisme kreatif lo, yang rugi kita kok bukan elo~ Elo tetep kita bayar sesuai quotation~ So why don’t you shut the fuck up, do as I say, or give my money back!!!
Kedua, mereka itu lambreta alias leletttttttttt~~~ yawlaaaaaa~~~~
Gw termasuk orang yang kerja dengan pace cepat, makanya gw cocok kerja di startup/tech. Selama ini gw ga pernah bermasalah sama deadline… until I work with DA~
Gila~ Deadliner parah. Mereka bisa lho kirim materi jam 11 malem, dan minta approval jam 12 malem. Ga ada akhlak~
Kalo dikasih deadline jam 3, baru ngumpulin 2:59. Kan anjing~
Terus minta approval buru2, giliran ditagih ngeles mulu, alesannya: “Secara kreatif kita belum puas~” LU MAKAN TU PUAS! AMPE TAON DEPAN JUGA GA PUAS2~~~ KALO NUNGGUIN LO PUAS KERJAAN GUA KAPAN KELARNYA ANJEEEEEEENNNGGGG~~
Creative agency macem DA ini, ga cocok kerja sama Dian. Beda karakter. Mereka tidak result oriented, tapi process oriented.
AIN’T NOBODY GOT TIME FOR DATTTT
Bye aja, besok2 ga bakal dipake lagi. One client lost, your loss. There are plenty of agencies out there willing to work with us~
Gw udah kerja sama dengan berbagai macam tipe vendor.
EO, production house, TV station, media, KOL and social media agency, marketing agency, PR agency, service provider, etc…
Ga ada yang pernah bikin se-emosi ini yawla, dan gw termasuk salah satu orang tersabar di tim. Banyak yg lebih emosian dari gw. Trust me, gw orangnya menghindari konflik, gw ga mau ribut, ga mau berantem, maunya yang damai2 aja.
Crisis banyak along the way, tapi harus bisa diselesaikan dengan logika dan kepala dingin. Itu motto gw, tetap tenang dan pikirkan jalan keluarnya pelan2. Pasti bisa kok.
Tapi ya, ketika kerja sama si DA ini, sekeras apapun gw berusaha untuk keep calm, tetep ga bisa~ Karena 2 alasan di atas tadiiii~~~ Emosi gw terus2an tersulut, sampai akhirnya tadi hampir keluar pas meeting bersama—untung lowkey~
Anyway moving on, ketika lo berpikir udah semua penyebab kemarahan gw hari ini gw sebutin, which is regional rese dan agency yang ga punya akhlak, nope, tentu saja belum. Masih ada satu lagi: le bosses.
Yak, bahkan bos gw sendiri jadi masalah buat gw. Orang2 yang harusnya jadi penanggungjawab gw di kantor, ikut2an bikin gw sakit kepala.
Oke, bos gw tuh ada 2: Pingkan dan Maya, Duo Ratu.
Pingkan bos langsung, Maya bos besar.
Selama ini gw kalo minta approval selalu ke 22nya, which is fine, it’s a natural process. Kalo di kantor mejanya 2 orang ini sebelahan jadi gw sekali minta approval bisa langsung dapet 22nya~
But then WFH happened~
Ketemu sama 2 manusia ini susaaaaaahhhh bangettt~~~ Meeting-nya back to back full seharian. Di-chat ga dibales, ditelpon harus via sekretarisnya terus harus ambil nomer antrean nunggu sampai ibunya kosong~ GA EFISIEN BEB~
Apalagi dengan kondisi si DA kalo minta approval mepet2, ya gimana ceunahhh~~
Oke masalah waktu dan approval itu satu, masalah kedua yang ditimbulkan duo Ratu adalah ketika keduanya ga align, yang satu mau A, yang satu mau B. YAWLAH~ terus ane di tengah2 gimana nasibnyeee~~~
Tapi ini okelah, kalo emang ga ada yg mau ngalah biasanya Pingkan gw tinggalin, gw ikutin Maya, karena lebih bos.
Persoalan ketiga, adalah ketika 22nya indecisive. This more like hell. Kalo kasih approval jawabannya ngawang2. Instead of a simple yes or no, ga langsung jawab atau malah ngide yang lain~
Mbak, Bu, please-lah, can you guys not make my life any more difficult?!
Persoalan keempat adalah ketika line of approval ini tidak jelas. Siapa awan di atas awan, siapa yang punya kekuasaan tertinggi, apakah Duo Ratu atau regional? Lalu bagaimana kalau Duo Ratu tidak sepemahaman dengan regional? Lalu bagaimana kalau Duo Ratu tidak sepemahaman dengan regional dan masing2 tidak ada yang mau mengalah?
Aku terjebak di antara perang dingin~
Rasanya pengen gw bom aja itu 22nya~
What a miserable quality of leadership.
Anyway udah ah gw ga mau lama2 marah2nya~ Udah stress WFH di-extend sebulan (yes!!! Sakit jiwa emang HR gw~) masa mau makin stress gara2 marah2? Long story short, this project has been a stairway to hell for me, an acute constipation, semua orang kecuali my beloved team (except Duo Ratu) basically TOKAI, and I cannot wait to flush them away to the dirtiest sewer where street rats and cockroaches live.
So fucking long motherfuckers!