Selamat siang semuanya. Hari ini hari Minggu di penghujung bulan Agustus 2025 pukul 2pm. Mood lagi drop abis-abisan karena situasi Indonesia yang menuju gawat darurat.
Demo berkepanjangan dari hari Kamis kemarin, protes terhadap pemerintah yang tone deaf dan pengecut. Kirain cuma sehari dua hari, but nope, udah over the weekend dan expected to be until next week.
Berbagai narasi sudah tersebar di social media. Adanya provokasi, berbagai tindakan anarkis, pahlawan kesiangan, klarifikasi dan permintaan maaf, decoy alias pengalih perhatian, suara rakyat yang dibungkam dimana-mana (termasuk messing with Meta & TikTok system)..
Mentally draining. Capek banget. Tapi tetep harus alert, tetep harus buka sosmed, tetep harus baca, tetep harus repost dan share. That’s the least thing we could do to help this nation survive.
Gw sendiri sedih banget liat kondisi negara yang sangat gw cintai ini. I gave up opportunity to be permanent resident of Australia because I wanted to live here, in Indonesia. I wanted to contribute to the people and community. Semua itu janji yang gw tulis di motivational letter saat apply beasiswa dan kampus untuk S2 8 tahun yang lalu dan janji itu masih gw pegang sampai sekarang.
Tapi kenapa masa depan Indonesia tampak suram sekali???
Please jangan bikin gw menyesali apa yang sudah gw janjikan.
Ya Tuhan.. Lindungilah negara ini.
Anyway, dalam situasi seperti ini, gw jadi teringat percakapan bersama 3 teman some times ago. Ga usah gw kasih tau ya siapa orang-orangnya, karena cukup absurd. They are not even my close friends dan kita baru kenal beberapa bulan.
Percakapan ini sedikit menyinggung apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Dimulai dengan sebuah pertanyaan: do you wish to have kids?
Whoa.
That was a very personal question!
My introvert side kicked in. Berasa diserang gitu sama pertanyaan itu.
I mean I don’t mind discussing it with my close friends, atau at least temen2 yang gw udah kenal lama, setahunlah minimal. Mereka-mereka yang ada dalam close proximity yang intens sama gw, misalnya ketemu di kantor atau klub atau komunitas atau project secara rutin, sehingga gw nyaman sama mereka.
But these guys.. kayak baru kenal 1-2 bulan gitu..
So I felt so attacked!
But the other 3 kayaknya orang2 extrovert, jadi didn’t mind sharing their ideas. So I had to play along.
You know, topic about kids itu sangat sensitif buat gw. Selama ini kalo bisa gw menghindarinya. Gw bahkan mungkin ga pernah discuss itu di blog ini padahal blog ini safe space buat gw. Gw mungkin pernah bahas topik ini sama beberapa temen, tapi paling permukaan doang. And I most definitely never talked about it with my parents/family.
Gw tuh sebenernya tipe orang yang punya pendirian. Yang stance-nya jelas di situasi apapun. I always have strong ideas and opinions. Gw tau gw harus gimana, dimana, memilih apa, berpihak ke siapa, dll itu gw selalu tahu. Selalu yakin dan teguh pada pilihan gw, atas apa yang gw percaya dan yakini benar, atas mana yang baik dan buruk. Itu gw selalu tahu.
Gw selalu di posisi hitam atau putih, ga pernah abu-abu.
Kecuali… soal anak.
Ini adalah topik yang gw ga tau dan ga yakin stance gw dimana. I’m neither pros or cons. 50:50. Abu-abu.
Di satu sisi, gw pengen punya anak. I’m sure I can be a good mom, karena gw punya contoh yang luar biasa: nyokap gw. Sosok ibu yang sempurna. Strong, smart, calm, kind, resilient, patient, loving, supportive, forgiving. Semua good quality nyokap bisa gw terapkan pada diri gw dan berlakukan ke anak gw sehingga minimal anak gw nantinya akan tumbuh menjadi seperti gw, which is not bad. :p
Punya anak juga sebuah keputusan yang mulia. You know, just from science perspective, regenerasi human race supaya tidak punah. Who knows anak kita nantinya akan menjadi penerus Einstein, pemimpin dunia, atau agent of change yang akan memberikan the better life for everyone.
A little part of me juga merasa anak akan melengkapi hidup. Pencapaian terbesar sebagai perempuan adalah to become a mother. Kayak udah qodratnya gitu.
The idea of nggak sendirian di masa tua juga menarik. Walaupun nantinya gw ga akan membebankan kewajiban untuk mengurus gw di masa tua ke anak gw ya. I don’t mind ditaro di panti jompo (yang layak) terus anak gw nengokin seminggu atau sebulan sekali. That’s okay.
Namun, di sisi lain, punya anak juga banyak risikonya. Risiko finansial yang paling utama. Punya anak itu mahal—at least kalau kita mau memberikan standar hidup yang layak/nggak di bawah standar buat mereka.
Risiko finansial ini juga ga ada ujungnya, akan terus berlanjut seumur hidup. So gotta be ready for that too. Planning-nya udah sampai after life, ga cuma sampai anak kuliah aja..
Then ada risiko mental dan psychological untuk ibu. Kehilangan identitas atau semacamnya, ketika nama “Seeta” perlahan fade away menjadi “Bu X (nama suami)” atau “Mamanya Y (nama anak). Dealing with negative stigma around women and mothers who are being judged more harshly than men. Balancing the demands of motherhood and personal life. Navigating postpartum physical changes and self-image…
But you know, I know my capability, and I think I can deal with those risks and survive. I couldn't care less.
It’s just.. for me, it’s not fair for my children to be born and raised in Indonesia, especially now that it is becoming a more and more inhuman place to live.
Gw hidup di negara ini aja sekarang udah susah dan takut, nggak adil rasanya membawa another innocent souls into this chaos. They don’t deserve this. They don’t deserve Indonesia Gelap.
That being said, the only scenario yang make sense untuk punya anak adalah cari jodoh WNA dan migrasi ke LN—which what I’m going to do in the long run. Anywhere is better than here.
Okay going back to the convo with 3 extroverts…
You know.. all of those statements.. semuanya very personal dan definitely ga akan gw share ke orang yang baru gw kenal. I can sense that all my points might sound controversial, jadi gw ga mau mereka malah argue atau nanya-nanya follow up questions yang bikin gw makin feeling attacked atau insecure, or worse: memberikan saran atau kritik on how I’m supposed to live my life. Hell no.
Jadi jawaban gw saat itu adalah: “I’ll let my husband decides.”
That just came instinctively because I needed to end this convo real quick.
Sekarang kalo dipikir2, jawaban gw jenius juga. Wkwk~
I mean, bukan bermaksud lari dari tanggungjawab. Seorang istri pada akhirnya harus mendengarkan apa kata suami kan? So, taichi aja. Nyehehe~
Anyway, my point is, gw sekarang masih ga tau mau punya anak atau nggak. But then I realize punya anak atau nggak itu keputusan bersama dengan calon suami gw nanti, ga cuma keputusan gw doang.
Kalo sekarang gw masih 50%, ya tergantung suami gw nanti. Kalo dia mau punya anak, apakah dia bisa meyakinkan gw supaya skornya jadi 70% misalnya. Then let’s have kids.
Sebaliknya, kalo dia memilih child free, ya usaha aja nurunin skornya ke 1-49%. Then let’s spend the rest of our lives together, just the two of us. That’s also fine for me.
So yeah, nampaknya kategori calon suami gw nanti cuma 2: 1) bule, 2) orang yang masih optimis sama masa depan Indonesia. Wkwk~
Dah ah. Gw mau nonton The Residence di Netflix. Butuh distraksi dari semua kabar buruk yang mengikis moral di luar sana.
No comments:
Post a Comment