Hello.
For hours I was
hesitating whether I should make this post or not. In last minute, I finally
decided to write. But it was postponed coz I’ve been looking for pictures to
support.
I
never found it.
This
post is about a friend.
Kalo lo
pembaca blog gw since the very beginning, pasti lo familiar dengan nama2
seperti Grace, Apree, Elia, Bone, Pika, Putri, Silky, dll. Mereka adalah temen2
gw dari SD sampai SMP, sampai sekarang. FYI, ketika SD dan SMP, gw bersekolah di sebuah
yayasan bernama Pamardi Yuwana Bhakti. Sekolah berbasis Katholik yang terletak
di daerah Pondok Gede, Bekasi.
Pamardi bukan
sekolah besar. Setiap angkatan, cuma ada tiga kelas: A, B, C. Muridnya emang ga
banyak. Paling cuma 100-an orang per-angkatan. Jadi, kita semua mostly saling
kenal. At least tau mukalah.
Anyway, gw
sekarang mau ngajak lo flashback ke 19 tahun yang lalu. Summer 1996. Ketika gw
baru pertama kali masuk SD Pamardi.
Juli 1996. Pertama
kalinya gw menapakkan kaki di Pamardi. Sekolah ini asing banget buat gw. Gw ga
kenal siapapun di sana. Gw mau nangis karena sama sekali ga punya temen. Rata2
anak2 yang masuk SD Pamardi adalah lulusan TK Sang Timur, yang satu yayasan
dengan Pamardi. Karena berasal dari TK yang sama, anak2 yang sekelas sama gw
rata2 saling kenal. Mereka udah membentuk grup2, membuat gw sangat mustahil
untuk bergabung.
Gw pun duduk sendiri
mengasingkan diri di bangku pojok kanan paling depan. Berharap ada anak yang
mencoba berteman dengan gw.
Harapan gw
terkabul, ada anak cewek yang dianter oleh mamanya masuk ke dalam kelas. Anak ini
lulusan TK Sang Timur juga. Terlihat dari gimana cara anak2 di kelas menyambut
dia saat masuk ke kelas. Beberapa dari mereka memanggil namanya. Beberapa yang
lain mengajak anak ini untuk duduk sama mereka.
“Nggak mau,
aku mau duduk di depan!” kata anak ini.
Satu-satunya
bangku paling depan yang masih kosong adalah bangku di samping gw. Gw pikir dia
akan berubah pikiran. Tapi ternyata nggak. Dia duduk di samping gw dan menyapa
gw.
“Hai, aku
Jessica. Panggilannya Chika. Nama kamu siapa?” tanya dia.
“Seeta.”
“Kamu dari TK
mana?”
“TK Mutiara.”
“Aku dari
Sang Timur. Kamu lahir bulan apa? Nama panjang kamu siapa? Kamu bawa pensil berapa?”
Anak ini kepo
sekali. Sebenernya gw ga nyaman ditanya2 terus. Tapi toh gw jadi dapet temen. Temen
pertama gw di Pamardi. Jessica “Chika” Florentina.
Begitulah perkenalan gw dan Chika.
Sebuah perkenalan yang tulus dan innocent.
Perkenalan gw
dan Chika membawa banyak kebaikan buat gw. Chika ngenalin gw sama temen2nya,
membuat gw dikenal sama anak2 lulusan Sang Timur lain. Chika juga selalu
mengajak gw kalo dia lagi main atau lagi belajar. Di dalam banyak hal gw sangat
nyambung sama Chika. Ngomongin sekolah, temen, pelajaran, mainan, cowok, film kartun,
baju, dll. We’re fit in so many ways. In a short time, we became BFF.
Chika juga adalah
anak yang aktif dan pintar. Dia terpilih jadi ketua kelas karena semua orang
percaya sama dia. Dia sering banget ranking 1. Dia jago banget olahraga. Dia berani, dia kuat,
dia ceria, dia pantang menyerah, dia tegas. Di mata gw Chika ga hanya sekedar
BFF, tapi juga role model.
Nyokap gw pun
kenal sama nyokapnya Chika dan jadi semacam BFF juga. Kalo di rumah lagi ga ada
pembantu, gw selalu dititipin di rumahnya Chika. Gw seneng banget kalo main ke
rumahnya Chika. Chika punya mainan, komik, buku, VCD, dll keren2 yang gw ga
punya. Chika punya bibi yang masakannya enak banget. Chika juga sering ajak gw
ke rumahnya Fina, temen gw yang lain. Fina adalah sahabat karibnya Chika dari
balita. Dia sekolah di Pamardi juga. Gw, Chika dan Fina kalo udah main Barbie
bareng bisa lamaaa banget, sampe lupa makan, lupa pulang, lupa waktu. hahaha~
Kita bertiga
pernah muncul di Krucil, acara teve anak2 jaman dulu. Dimana kita
bertanding melawan anak2 dari sekolah lain. Kita bahkan punya baju kembarang
merk Contempo yang dibeli khusus buat ikut Krucil. Hahaha~ Walaupun akhirnya
kita kalah dalam pertandingan itu (yang membuat kita nangis semalem suntuk), kita
tetep seneng karena bisa masuk teve bawa nama Pamardi.
Kira2
begitulah persahabatan gw dan Chika selama 6 taun di SD Pamardi. Kadang-kadang
kita berantem, tapi ga butuh waktu lama buat balikan lagi. Ada kalanya gw
merasa sangat bergantung sama Chika. Misalnya ketika gw mau memutuskan sesuatu,
pasti pertimbangannya adalah Chika. Apakah dia akan suka/ga, marah/ga, dll…
Selama kurun waktu
6 taun itu gw berkenalan dengan banyak orang dan menjalin persahabatan dengan
orang2 itu. But no one, as I remembered ever got that close to me like Chika.
Ketika SMP,
persahabatan gw n Chika diuji. Gw ga lupa cerita detilnya, tapi ada
saatnya Chika mem-bully gw. Gw gatau apa salah gw ke dia, tapi Chika pernah
memerintahkan anak2 satu kelas (kecuali yang cowok) untuk memusuhi gw. It was
the worst time of my life. Di sekolah ga ada yang mau ngomong sama gw. Gw
selalu jadi yang terakhir dipilih masuk kelompok. Gw selalu sendirian kalo
istirahat. Pernah gw menolak untuk masuk sekolah karena hal ini. Saat itu gw
benci sebenci2nya sama Chika. School is like a nightmare for me because of her.
Di saat2 seperti
itu, gw bertemu sama Grace. Ketika semua anak cewek di kelas memusuhi gw, cuma Grace
yang mau ngomong sama gw. Hal yang sangat beresiko karena besoknya, Chika memerintahkan
anak2 untuk memusuhi Grace juga.
Saat itulah
gw sadar I am so done with her. Kenapa gw harus peduli Chika? Kalo dia ga suka
sama gw, yaudah, tinggalin aja. Toh gw masih punya Grace. Eventually anak2
cewek di kelas yang ga gabung sama gengnya Chika pun mau berteman sama gw dan
Grace. Mereka2 itulah yang sampe sekarang berteman baik sama gw, yang nama2nya
sering gw sebut di blog ini.
Me and Chika’s
friendship basically had finished since then. Gw ga pernah mau tau apapun lagi
tentang Chika. Pas lulus2an SMP, Chika udah sama temen2 barunya, gw sama Grace
dkk. Gw ga pernah komunikasi lagi sama dia selulus SMP, SMA, sampe kuliah. Paling
cuma ngucapin ulang tahun di Facebook aja. Gw ga pernah nyimpen nomor hapenya
dia, ga pernah ketemu lagi sama dia, ga pernah denger kabar tentang dia lagi.
Sampai tahun
lalu, gw dikabarin Grace kalo Chika menikah. Selang beberapa bulan kemudian gw
dikabarin lagi kalo Chika lagi hamil.
Terhadap dua
kabar itu, respon gw datar.
“Oh.”
Gw ga
berinisiatif untuk ngasih selamat or anything. Deep inside gw masih belom bisa
memaafkan perbuatan Chika ke gw waktu SMP. So I think it’s better for me to
keep myself distant from her. No affection what so ever.
Until today.
Gw baru aja
bangun tidur tadi pagi jam 10an. Nonton CSI di teve sambil ngecek Twitter. Kemudian
gw inget kalo harus nge-SMS seseorang, gw ambillah hape gw. Eh, ada 3 miscall
dari Lina.
Gw SMS-lah
dia, tanya ada apa. Sedetik kemudian, dia telpon lagi.
“Ta… Chika
udah ga ada..”
“Hah??? Serius???”
“Iyaa..
Barusan meninggal.. Sakit meningitis..”
Gw speechless.
Otak gw ga bisa mikir. Lina ngejelasin panjang lebar bahwa Chika baru
melahirkan anaknya prematur bulan lalu. Bahwa beberapa minggu terakhir
kondisinya menurun, badannya semakin kurus, dan agak linglung. Sampai akhirnya
dua minggu lalu pingsan dan dilarikan ke RS dan langsung koma.
Ternyata
meningitis. Ada cairan berbahaya di otaknya. Tim dokter menganjurkan operasi
dan keluarga setuju. Chika menjalani operasi otak. Namun, ga membuatnya
membaik. Kondisinya malah memburuk. Ia nggak merespon apapun, sampai akhirnya
dokter memberikan stimulun kemarin dengan harapan pagi ini badan Chika merespon.
Hasilnya nihil.
Udah ga ada harapan lagi. Keluarga pun akhirnya mengikhklaskan. Semua alat di
tubuhnya dilepas. Chika berpulang.
Gw sempet
hesitate mau ngelayat atau nggak, lagi2 teringat tentang riwayat persahabatan
gw sama dia yang buruk. Tapi gw sadar it’s not just about me. Chika meninggal,
tentu saja nyokap gw harus tau. Karena nyokapnya Chika kenal baik sama nyokap
gw. Gw pun ngasih tau nyokap.
“Ma, Chika,
temen SMP aku. Inget kan?”
“Ingetlah,
masa nggak inget.”
“Chika
meninggal, Ma.”
Nyokap diem. Pucet.
Langsung nyari hapenya, nyoba kontak mamanya Chika. Tapi ga bisa.
“Kamu
ngelayat?”
“Nggak tau..”
“Kok nggak
tau?? Chika kan temen kamu!”
“…….”
“Mama ga bisa
ngelayat, harus anter ade les piano! Kamu dateng ke rumahnya sekarang, wakilin
mama!”
Ga mungkin
nolak. Gw pun pergi ke rumah Chika bareng Pika, Putri sama Lina.
Unfortunately,
jenazahnya belum sampai, gw ga bisa lihat Chika untuk terakhir kali.
Tapi gw
sempet ketemu mamanya Chika.
Tante Irma
hebat banget, masih inget sama kita. Beliau tampak tegar. Nangis, tapi masih
bisa bilang terima kasih, meluk kita satu-satu dan minta kita maafin Chika.
So I did.
Chik, gw
maafin lo. Yang tenang ya, disana. Apapun yang terjadi antara gw sama lo di
masa lalu, ga akan gw inget2 lagi. Lo akan selalu ada di hati gw. Rest in
peace, pal! .