Kemarin got into a conversation with a friend. Ngomongin VOA.
Gw lupa udah pernah share di blog ini atau belum, 8 tahun yang lalu gw menjadi salah satu finalis VOA fellowship.
Oh tidak, gw ga menang in the end. Tapi kala itu jadi finalis aja udah seneng banget sih.
Gw inget jaman itu VOA goals banget buat anak Jurnal-UI. Kita istilahnya udah di-brainswash untuk ikutan program itu sejak jaman kuliah. Para dosen senantiasa mengingatkan, ayo jadi jurnalis yang baik, lalu cobalah apply VOA, dia punya program fellowship bagus banget. Beberapa alumni sudah mencoba, ada X, Y, Z yang sudah berangkat ke Amerika duluan, blahblahblah.
So yeah, gw pun mendaftar. Waktu itu persyaratannya gampang banget, gw cuma diminta menulis essay, menjawab 4 pertanyaan. Gw inget mengonsultasikan jawabannya ke alm. Bang Mimar untuk minta opini dan penilaian. Essay itu kemudian dikirimkan ke panitia bersama hasil tes TOEFL.
Udah, gitu doang. Ga harus nyiapin dokumen2 heboh macem beasiswa Purpose~
Eh siapa sangka di usaha pertama langsung dipanggil wawancara!
Pastinya seneng banget, tapi juga takut, karena saingannya pasti jurnalis2 senior yang sangat expert di bidangnya. Sedangkan gw baru 1,5 tahun di XXXXX saat itu, masih sangat hijau~
Gw minta izin ke Kak Asri—bos di XXXXX kala itu, untuk cuti setengah hari demi bisa mengikuti wawancara. Gw inget Kak Asri dengan berat hati mengizinkan, dan berkata, “Aku dukung kamu, tapi aku sedih, karena aku yakin kamu pasti diterima.”
Bittersweet rasanya. Saat itu gw juga masih sayang sama XXXXX, lagi enjoy2nya kerja.
Berangkatlah gw ke lokasi wawancara pagi itu, naik taksi yang dibayarin XXXXX. Wkwkwk~~
Tahapan seleksinya ga banyak, cuma 1 hari yang menentukan segalanya. Dalam 1 hari itu ada wawancara dan tes translation berita. Gw kebagian translation berita dulu. Gw diantar ke ruangan dengan komputer tipe jadul, dikasih 2 lembar berita dalam bahasa Inggris yang harus gw terjemahkan. Maybe I wasn’t doing well on this one either, karena waktu itu bahasa Inggris masih oon~ wkwk
Kemudian interview setelahnya. Gw ga inget persis kayak gimana situasinya. Pokoknya ada 2-3 orang on the spot, sisanya di Amerika via Skype. Termasuk jurnalis2 senior VOA yang dulunya mantan jurnalis TV di Indonesia.
Totally forgot how it went down, lupa ditanyain apa aja, lancar atau nggak jawabnya, did I stutter, did I express my vision and mission clearly?
Ya pastinya nggak sih, hahahaha~ Atau ada yang lebih baik dari gw.
Well, Tuhan masih sayang Kak Asri, gw akhirnya tidak diterima. Lumayan patah hati dan ga terima, to the point gw shamelessly dateng ke “upacara pelantikan” sekaligus “selametan” kandidat yang berhasil, just because gw ga mau "putus hubungan" cepet2 dari VOA. Sekarang kalo dipikir2, ngapain sih dateng?? Lo ga punya dignity apa?! Wkwkwk~
Tapi sedihnya ga lama sih kayaknya. Ketika keesokan harinya udah ketemu artis dan nonton konser lagi ya langsung seneng lagi dan lupa deh kalo lagi sedih~ hahaha
Emang bukan rezeki gw di VOA. Untungnya semangat gw ga patah, masih terus nyala sampai 3 tahun kemudian mengejar beasiswa Purpose, yang Alhamdulillah berhasil. :)
But okaylah, it was a fun experience worth to remember. Bahwa gw pernah at least dipertimbangkan untuk ada di sana. Menjadi jurnalis media besar di negeri Paman Sam. Mengejar mimpi.
Anyway, ada epilog sedikit. Gw buka2 email lama yang ada VOA ini. Lalu menemukan sesuatu yang mengejutkan!
xD
Crazy to think I was in the same nomination as him! Semoga rezekinya menular!