Hi, guys! How y’all doin?
Hari ini cheat day gw lagi~ wkwk~
Seharian ga mau nyentuh assignment~ Kerjaan gw dari tadi makan, ke groceries, masak (kentang goreng n nugget), nonton Conan, nonton Hana Kimi (lagi butuh ketawa instan soalnya), dan bocica (bobo ciang cantik)~
Biar agak produktif dikit ngeblog deh~
Yang mau gw bahas sekarang sebenernya berhubungan sama postingan gw tentang depression. Ini semacam follow up post-nya, well not exactly sih, tapi bisa dibilang gitu.
First of all, gw mau minta maaf bahwasanya di postingan itu gw seperti men-generalisasi bahwa postgraduate likely menyebabkan depresi, atau stress. I’m really sorry for being selfish and made everything about me. The cause of depression simply bukan karena hal sesimpel tugas2 sekolah/kuliah yang kebanyakan/terlalu susah, it’s a lot deeper, more personal and complex than that. Jadi bener2 ga bisa digeneralisasi. I am so sorry~
Depresi juga ga ada hubungannya dengan balance life, seperti yang gw tulis di postingan itu. Ada orang yang hidupnya berkecukupan, badannya sehat, keluarganya harmonis, berprestasi di sekolah, temannya banyak, tapi tetap aja depresi. Once again, I am really sorry for being so self-centered~
Personally, gw ga pernah mengalami depresi. Gw HAMPIR depresi, which is yang sekarang mau gw bahas di postingan ini. Some unimportant truths about me.
Tadinya gw ga suka bahas hal yang terlalu personal kayak gini di blog. Tapi belajar dari pengalaman orang2 yang depresi. Mereka cenderung ga mau cerita ke orang lain akan masalahnya, akhirnya end up doing something stupid~ So yeah, here I am in an attempt of not doing the same thing.
Just like another human being I had ever been in the lowest point of my life. Back in the end of 2014/early 2015, I had anxiety (sort of, at least that was what I diagnosed myself based on excessive worry and panic I’d been experiencing). I thought it was just another bad days/bad mood, so I did not go to see the doctor. I did not tell my parents/best friends. I did not take any medication. I handled it quietly all by myself.
Sama sekali ga pernah terpikirkan sama gw bahwa anxiety yang gw rasakan itu bisa berujung pada depresi. Mungkin gw beruntung, karena otak gw mengartikan anxiety itu sebagai galau semata. Sepele banget. Ga perlu dibesar2kan.
Galau obatnya buat gw ya YouTube~ Tapi sayangnya kala itu YouTube ga ampuh mengobati gw~ Akhirnya gw terpaksa menggali lebih dalam apa yang terjadi sama gw. Basically waktu itu situasinya gw udah kerja 3 tahun lebih di XXXXX, udah mengalami suka duka kerja di majalah, udah naik jabatan, udah dikasih tugas2 berat, udah semuanyalah pokoknya. Terus ya as expected pertanyaan laknat itu muncul:
Now what?
Sebenernya sih bisa aja gw ignore itu pertanyaan. But life hit me hard by giving me receipts of my friends’ achievement. Temen2 gw… literally… udah punya segalanya in terms of career. Udah keliling dunia, udah jadi bos, udah punya usaha sendiri, udah kuliah S2 & S3, udah kerja di berbagai perusahaan, udah bikin buku, udah punya acara TV sendiri, udah bikin film, udah foto sama presiden, udah punya gaji gede…
Kok gw masih gini2 aja?
Ini ada yang salah sama hidup gw sih.
Yang kepikiran sama gw waktu itu sih gw harus resign secepatnya dari kerjaan gw kala itu, cari tempat baru yang beda banget sama kantor lama. Just so I knew where my niche was and at the same time broadened my perspective coz I’d been living in the bubble for so long.
Tapi resign tentu bukan sebuah proses yang mudah. Banyak konsekuensi, banyak tanggungjawab yang harus diselesaikan, dan tentu saja at the same time harus cari kerjaan baru. Yang terakhir pe-er banget ketika gw sadar kualifikasi yang gw miliki walaupun istilahnya udah malang melintang di kantor sebelumnya, ga bisa memenuhi persaingan global sesuai tuntutan zaman. The world is damn competitive right now.
Let’s just say there’s this one particular company yang gw bener2 aiming untuk bisa masuk sana. But my qualifications were pretty much invisible to them. Gw coba sekali (posisi yang gw pengen), dua kali (posisi lain), dan tiga kali (kali ini pake internal referee), masih tetap invisible~ Sekalinya gw visible, posisi yang gw pengen udah direbut orang lain~
Pun setelah akhirnya gw dapet kerjaan baru yang awalnya gw kira could make me spread my wings and fly higher, ternyata gw ga bisa total menjalankannya karena gw menyadari bahwa my heart ga di situ. Seperti ikan yang kecemplung di kolam yang salah. Masih bisa hidup, tapi hidupnya ga punya tujuan. Ga enjoy, ga bisa main, ga bisa berkembang biak, ga bisa cari temen, ga bisa eksplor bagian2 lain di kolam karena bukan teritorinya atau simply dia ga mampu untuk kesana~ Jadi ga tau mau dibawa kemana hidupnya~
Begitulah gw~ Tiap hari gw bangun pagi dan menjalani hari kayak robot. Kerja pake otak dan tenaga doang, tapi ga pake hati~
Then the same old anxiety stroke again as expected. Galau lagi. Panik lagi.
Now what?
I’m so conflicted, haruskah gw kembali ke yang lama? Atau stay di tempat baru tapi setiap hari suffering? Atau apa?
There was definitely a missing piece on my life puzzle. Even until now, I still don’t know where to find it. But the least thing I could do –at least yang kepikiran sama gw waktu itu- adalah I gotta upgrade myself. Gw harus meng-upgrade skill gw dalam mencari missing puzzle itu. Dengan begitu, mungkin chance gw untuk menemukannya lebih besar. Jadi in the future gw ga akan galau2 ga jelas lagi. Ga akan panik lagi.
That’s how my journey with this scholarship goes, yang gw yakini bisa membantu gw untuk meng-upgrade diri. The journey is gonna end in couple of months and then I have to go back in search of my missing puzzle. Finger crossed gw bisa menemukannya, no, gw HARUS menemukannya! No excuse! No room for doubt!
That’s how my journey with this scholarship goes, yang gw yakini bisa membantu gw untuk meng-upgrade diri. The journey is gonna end in couple of months and then I have to go back in search of my missing puzzle. Finger crossed gw bisa menemukannya, no, gw HARUS menemukannya! No excuse! No room for doubt!
So, as lame as it sounds, doakan gw ya.
***
Disclaimer:
-->
Before y’all shady scholarship haters judging me, of course this story is not the whole reason why I signed up for the scholarship, like I said before I just some truths that might give wider context to the decision. Some truths that I expressed just so I know I’m not alone, because as I am telling you this story, I am including you in my life, trusting you to understand my situation and maybe, just maybe, can give me a hand just in case I am suffering again someday. That’s it.