Sunday, September 9, 2018

Ngeblog pertama kali di kantor


Wow. Ga nyangka bisa ngeblog di kantor lagi. Kayaknya terakhir ngeblog di kantor itu zaman masih di XXXXX. Waktu belum ketemu digital. Setelah ketemu, ga ada tuh namanya punya banyak waktu luang di kantor buat ngeblog~ The mind is fully occupied. Literally racing with time.

Sedikit konteks, sekarang gw sedang campaign hari terakhir. Meaning gw sudah 3 hari ga pulang ke rumah (diinepin di hotel) dan gw sepenuhnya kehilangan weekend gw. Good thing weekend yang hilang karena kerja bisa diganti compensation leave within 3 months.

Campaign kali ini ga se-hectic waktu birthday sih. At least we don’t have to stay up all night and I’m very thankful for that. Kerjaan gw udah beres, tinggal satu yang baru bisa dieksekusi nanti jam 8 malem. Jadi punya banyak waktu luang deh. Jadi ngeblog deh.

Kalo dipikir2 lucu juga. Gw udah bosen banget dari tadi siang ga ngapa2in di kantor. Pengen jalan2 ke mall kayak temen2 gw sekarang yang lagi pada nonton di Lotte—gw ga ikut karena filmnya horror~ You know how I feel about horror movies~ I just can’t watch ‘em. I can’t stand those extreme graphics and disturbing footages. They are gonna haunt me for days, weeks even. I can’t live my life peacefully anymore~

Lalu gw lagi dapet hari pertama juga~ Perut nyeri dan mual dari tadi pagi. Bener2 not feeling like going around. What a good timing to get your period. Lagi campaign, men~~ Thank you so much loh!

Hari gini paling bener sih tidur, pasang alarm nanti jam 8 bangun lagi, kerja lagi. Tapi tidur di kantor yang dinginnya nyaingin Melbourne, di meja yang dilewatin banyak orang—termasuk CEO—setiap menitnya, mana bisa pules~

So yeah yang paling masuk akal gw lakukan adalah internet. Tadi coba nonton Meteor Garden, tapi entah kenapa lemot sehingga gw harus pake kabel LAN, dan gw males ambil kabel LAN di meja—sekarang gw posisinya lagi ada di ruang meeting yang AC-nya lebih manusiawi. Jadi yasudah, ngeblog aja. Sambil dengerin soundtrack This Is Us di Spotify. Woohoooooo Season 3 mulai akhir bulan ini!!! Another sweet distraction arrives!

Oke, sekarang mau ngomongin apa?

Akhir-akhir ini banyak orang yang nanya ke gw: jadi gimana Seeta, kerja di Dian so far?

Ini sebenernya pertanyaan mudah, yang bisa aja dijawab sambil lalu.

“Enak.”

“So far so good.”

“Ada enaknya, ada enggaknya.”

“Menantang.”

“Ya gitu-gitu aja.”

“Sibuk banget!”

“Kerjaan numpuk tiap hari.”

Tapi gw ga bisa jawab kayak gitu. Entah kenapa kalo ditanya pertanyaan soal kerjaan gw jadi emo. Karena karier adalah topik yang sangat sensitif buat gw. Pertanyaan sesimpel itu bisa bikin gw nangis.

Kalo boleh milih, gw ga mau jawab pertanyaan itu. Karena simply gw ga punya jawabannya dan gw ga mau berbohong. Tapi ga mungkin. Orang-orang yang nanya gw pertanyaan itu, pasti dalam keadaan good mood. Gw ga mau merusak mood mereka dengan tidak menjawab.

Mungkin gw harus bikin jawaban template untuk pertanyaan ini. Something kesannya diplomatis, but not lies. Entar deh abis campaign gw pikirin.

Lanjut! Gw kemarin kabur dari campaign bentar buat nonton Wiro Sableng sama Iip, Rhara, Gatul, dan Chika. That’s a nice escape. Sedikit usaha untuk mendapatkan kembali weekend yang hilang.

Review dikit ah Wiro Sableng. Sebelumnya gw baca beberapa review singkat di social media dan rata2 orang pada ga suka. Katanya heartless, jayus, storyline berantakan, weak characters, cheap CGI, etc. Hmmm… I would say I am very entertained watching it. But I get why people say it’s heartless. Screenplay-nya memang agak kurang. Karena mereka mau eksplor banyak banget di filmnya.

There are so many things going on here. Film yang idealnya mulai di A berhenti di E, malah mereka panjangin sampai J. Kita yang awalnya pengen ngikutin cerita Wiro Sableng versus Mahesa Birawa doang, malah dibawa masuk juga ke konflik internal kerajaan dan perang saudara.

In between, banyak gimmick penting dan ga penting muncul di sana sini. Setiap karakter harus banget dijelasin satu2 sejarahnya dan keunikannya—kadang2 dijelaskan dengan baik, kadang2 tidak. Kisah kapak dan tuannya—yang harusnya jadi signature penting tapi karena too much going on malah jadi dianggap adegan sambil lalu aja. Komedi2 jenaka yang cenderung distraktif bikin kita ga fokus sama Wiro Sableng versus Mahewa Birawa lagi. Jadi by the time mereka akhirnya final fight, penonton udah lelah, pengennya pulang aja.

About being jayus, hmm… I’m just gonna put: the comedy isn’t for everyone indeed. Terlalu receh atau murahan, you name it. Mungkin. Tapi bukankah Wiro Sableng dari sananya begitu? I mean, lo mengharapkan komedi macam apa dari orang yang namanya Sableng?

Menurut gw komedi yang disajikan sudah pas pada porsinya. Komedi itu jelas ditujukan untuk orang2 dari demografi tertentu, jadi ya sah-sah aja. Wiro Sableng dulu ditayangkan di TV pada siang hari setiap hari Minggu. Menurut ngana orang2 seperti apa yang nonton TV di siang hari setiap hari Minggu? Exactly. Families. Middle and below socio-economic class. Those who stay at home because they don’t have cars to go around (and there weren’t many public transport back then!), which are… the majority of population. They are aiming for the mass with those comedies. That’s how they stay true to their original viewers, those who follow the literature and tuned in for the show back in 1997. So if you think it’s not funny, well that’s simply because the comedies are not for you.

Gw sih ga mau ambil pusing dengan bilang komedinya ga lucu. Gw memang ga ketawa ngakak, tapi gw tersenyum bangga. Karena mereka bener2 stay true to the OG. Mengadaptasi 1-2 jokes masa kini tentu saja, tapi tidak menghilangkan esensi originalnya.

Storyline berantakan. I can’t deny this, masih berhubungan sama yang gw bilang di atas, too many things going on. Tapi mungkin ini bukan tanpa alasan. Mungkin all those things that going on in WS1, akan menjadi konteks yang mendasari sekuelnya. Mungkin. Karena investasi 20th Century Fox tentu tidak hanya 1-2 film. :)

Heartless? Lebih ke writing yang berantakan aja sih. Tapi balik lagi, alasannya adalah too many things going on itu. Atau bisa juga karena penyutradaraan. Mungkin terdengar seperti excuse, genre film seperti ini adalah kali pertama untuk Angga Dwimas Sasongko. Mungkin, karena itulah. Coba itu produser kirim Angga ke LA untuk workshop bikin film superhero yang ga cuma sekedar mentingin action, tapi juga emotion. Mungkin ke depannya bisa jadi lebih baik.

Cheap CGI? Well kita ga pernah tau berapa nilai investasi 20th Century Fox untuk film ini. Disokong dana oleh 20th Century Fox tentu membuat penonton look forward to something bombastic, tapi kenapa eksekusinya masih seperti sinetron Indosiar you ask? Well, maybe that’s intentional. Mungkin emang sengaja. Seperti halnya jokes yang dianggap ga lucu itu, ga mungkin Angga Dwimas Sasongko ga tau itu jokes ga lucu. Mereka tetap melakukannya karena yaa… emang pengennya begitu. Biar apa? Biar Indonesia banget! Biar dunia tahu niche-nya Indonesia ya begini. Alay mungkin, tapi tetap karakter toh? Kearifan lokal toh?

Mungkin investasi 20th Century Fox bertujuan membawa WS go international, tapi pernah ga terpikir kalau maybe… just maybe… investasi ini bertujuan untuk menjaring pasar Indonesia saja, yang besarnya seperlima pasar di Cina? Kalo emang bener… it all makes sense!

Udah ah segitu aja review-nya. Hehehehe~~

Blognya segitu aja dulu juga ya.

Back to work now!

Byeee~



No comments:

Post a Comment