Hi, guys! How y’all doin?
Ngumpulin niat buat nulis sebelum minggu depan mulai kerja di Errthing *ciye*~ Pengalaman traveling ke Bali 2 minggu kemarin bener2 ga terlupakan. Sebelum going to details bahas tempat-tempat yang gw kunjungi, kita review dulu Bali in general after the pandemic.
Traveling ke Bali ini adalah traveling dengan pesawat pertama yang gw lakukan setelah pandemi. The excitement was high, gila zaman dulu bisa sebulan sekali naik pesawat ye kan, sampai eneg sama bandara + bus damri. Dua tahun kemudian, akhirnya kembali boarding.
Sedikit mengeluarkan unek2 traveling di saat pandemi, rempong ya cyin~ Ya ga rempong2 banget sih, paling persiapannya lebih banyak. Beli masker berdus-dus, terus karena bawa nyokap yang lansia, harus beli portable air purifier. Belilah merek Leka di Shopee seharga 1 jeti aja. Produknya ini.
Mengikuti peraturan pemerintah, juga kudu swab antigen 24 jam sebelum berangkat. Ini kali pertama gw antigen. Sejak pandemi Alhamdulillah selalu diberikan kesehatan, jadi ga pernah positif covid (jangan sampe deh, amit amit). Gimana rasanya antigen perdana? Duh, ga enak banget, sumpah, mendingan disuntik!
Salut sama orang2 yang rutin swab!
Anyway sebenernya gw ga masalah dengan prosedur wajib swab kalo mau traveling. Cuma gw benci banget the moment nungguin hasilnya. Gila men, H-24 jam kalo tau2 hasilnya positif gimana??? Liburan yang udah di-planning sedemikian rupa hancur cur cur cur~ Kebayang ga sih taunya baru H-1?!
But I guess untuk yang satu ini kita belum ada solusi, unless ada surat keterangan kita karantina mandiri H-7 keberangkatan, dan ada pernyataan tertulis yang terverifikasi pemerintah whatever whatever. But well, knowing Indonesians, pasti ada aja cara untuk cheat on the regulation. Huff~
Okay now, Bali!
How’s Bali after the pandemic?
Sepi, gaes.
Hotel, restoran, tempat wisata, pantai, spa place, toko-toko, dll yang biasanya rame orang dari segala penjuru dunia, jalanan jalur arteri macem Seminyak, Ubud Center, Sunset Road, yang biasanya macet sampai harus jalan kaki/naik ojol, kemarin pas gw dateng 18-31 Januari 2022, sepi. Most of the times we were the only customers there.
Ga jarang pula kita temukan toko-toko/bisnis-bisnis pada tutup. Jalan raya Seminyak/daerah Petitenget yang aslinya rame toko-toko cantik sepanjang jalan macem Chapel St di Melbourne, kemarin udah kayak kuburan. They have closed down…
“Kesepian” Bali ini sebenernya memberikan mixed feeling. Di satu sisi jadi seneng bisa beraktivitas dengan lancar tanpa antre, tanpa macet, tanpa keributan, tanpa capek, tanpa drama. Tapi di sisi lain, sedih juga sih. Kayak setengah nyawanya Bali hilang.
Sedih rasanya setiap kita berinteraksi dengan penduduk lokal, baik itu staf hotel, waitress di restoran, supir Grab, atau just random strangers yang ketemu kita di jalan, semuanya berbagi kisah sedih akibat perekonomian Bali yang mati.
Hampir semua driver yang nganter kita jalan2, setelah trip pasti menawarkan diri untuk nungguin, karena dia pun sepi penumpang. Hampir semua restoran yang kita datengin ngasih promo/freebies, dengan harapan besok kita datang lagi. Hampir setiap mengunjungi tempat wisata, kita dihampiri oleh at least 10 pedagang kecil-kecilan, memohon-mohon minta dibeli barang dagangannya, karena cuma kita yang datang ke sana.
Gw juga memperhatikan turis bule bener2 dikiiiiittt banget, bisa dihitung pake jari. 90% turis yang gw temui adalah turis lokal. Padahal pendapatan Bali yang utama itu justru dari turis asing, karena charge-nya beda sama turis lokal.
Gw baru tau bahwa turis asing yang mau ke Bali harus ke Jakarta dulu, karantina di Jakarta beberapa hari, baru bisa ke Bali. Begitu juga pas pulang. Ya pasti bikin mereka berpikir dua kalilah kalo mau ke Bali, bukan cuma masalah uang, tapi juga waktu. “Turis-turis yang nggak bisa ke Bali larinya ke Thailand, Bu. Sedih saya,” ujar salah seorang supir Grab.
Padahal menurut mereka Bali siap untuk menerima turis. Hotel-hotel bersedia memberikan paket karantina sebelum para turis bisa berwisata di Bali. Tapi karena pemerintah indonesia ga mau ambil risiko, untuk sementara ini turis tetap harus via Jakarta.
Well, pemerintah is just being pemerintah. Kalo Bali “sakit” ke depannya malah bikin repot, orang semakin ga mau ke Bali. Jadi yang bisa gw katakan ke para penduduk lokal adalah “Sabar aja Pak/Bu/Bli/Mbok, that’s the only way.”
Fenomena ini juga membuat gw berpikir Bali segitu bergantungnya ya sama pariwisata—which is fair knowing their resources memang aset wisata banget. Tapi yaa.. kalo udah pandemi gini kan jadi bingung, tanpa pariwisata mau jadi apa? Kayak ga ada plan B gitu lho mereka~
Sedangkan orang Jakarta, untuk sebagian orang, kena pandemi justru membuka banyak opportunity lain. Pilihannya banyak. Resources-nya juga tersedia.
We really take our privileges for granted this whole time, gaes. Bersyukur gih. Wkwk~
Eh tapi ya, soal “Bali nggak ada plan B” ini sedikit banyak dipengaruhi sama kultur di sana juga sih. Menurut salah satu Bli di hotel tempat gw menginap, hidup di Bali itu kan pace-nya slow ya, slow banget malah, secara hawa-hawa liburan terus kan di sana, jadi mereka tuh take everything slowly. Kata Bli hotel, orang Bali tuh pola pikirnya sangat short term. Mikirnya cuma “selama besok bisa makan, kita tenang, hidup akan baik-baik saja.”
Itu semacam KPI hidup mereka. Selama besok bisa makan, ya KPI achieve.
Yaolo Bli, gimana ceritanya mikir cuma sampai besok??? Orang Jakarta mikir at least sampai 40-50 tahun ke depan, sampai anak cucu kuliah/nikah, bahkan sampai after life pun dipikirin! Wkwkwkwkwk~~~
Tapi gokil juga ya mikir short term gitu, kek gampang banget hidup. Yang penting besok bisa makan, kelar urusan. Ga usah kerja jumpalitan, cicilan & tagihan ini itu, meeting back to back, hustle 996, mikirin target hidup 10, 20, 30, 40, 50 tahun ke depan, dll~
I strive for that kind of life. Ntar deh kalo udah kaya. Hahaha~
Oiya, tapi walaupun sepi begitu, gw sangat respect karena hotel-hotel di Bali masih memperkerjakan stafnya 100%, at least hotel yang gw tinggali saat itu. Yakni The Kayon Resort Ubud dan The Haven Bali Seminyak Suites. Staf yang bertugas lengkap, kami di-treat sebagaimana seharusnya dan tidak kekurangan apapun. Malah cenderung dimanjakan being the only customers in the house, udah kayak pejabat aja. Hahaha~~ Prokes pun dilaksanakan dengan baik.
Beda sama hotel di Jakarta, yang pada nge-cut stafnya selama pandemic. Gw pernah nginep di satu hotel kawasan Jakarta Barat pas awal pandemi, itu resepsionis, housekeeping, dll dirapel jadi 1 orang. Alhasil dia kewalahan~ Well, understand where they come from sih, pasti ga ada budget juga.
Hospitality-nya Bali yang masih top banget ini membuat gw mendukung rencana Opung Luhut buat membuka Bali kembali untuk international flight Maret nanti. Yes, the people are ready. Infrastrukturnya sudah siap menghadapi new normal. Bali bangkit! Semangaaaattt~~
Review lainnya soal Bali adalah, the people are still sooo friendly! Like they are designated to be friendly gitu lho. Ga ada satupun orang Bali yang berinteraksi sama kita yang ga friendly.
“ItU kAn kArEnA eLo tuRiS~”
Ya bisa jadi, but remember, these people have gone through hell because of the pandemic. Mereka bisa aja kemarin keluarganya ga makan karena ga punya uang. Jadi bisa menjaga emosi mereka untuk tetap stabil dan bersikap profesional, keren sih. I was imagining gloomy Bali, but Bali is as bright as ever.
Okelah itu aja untuk postingan kali ini. Nantikan postingan2 Bali selanjutnya!