Sunday, August 31, 2025

The only grey area

Selamat siang semuanya. Hari ini hari Minggu di penghujung bulan Agustus 2025 pukul 2pm. Mood lagi drop abis-abisan karena situasi Indonesia yang menuju gawat darurat. 

Demo berkepanjangan dari hari Kamis kemarin, protes terhadap pemerintah yang tone deaf dan pengecut. Kirain cuma sehari dua hari, but nope, udah over the weekend dan expected to be until next week.

Berbagai narasi sudah tersebar di social media. Adanya provokasi, berbagai tindakan anarkis, pahlawan kesiangan, klarifikasi dan permintaan maaf, decoy alias pengalih perhatian, suara rakyat yang dibungkam dimana-mana (termasuk messing with Meta & TikTok system)..

Mentally draining. Capek banget. Tapi tetep harus alert, tetep harus buka sosmed, tetep harus baca, tetep harus repost dan share. That’s the least thing we could do to help this nation survive. 

Gw sendiri sedih banget liat kondisi negara yang sangat gw cintai ini. I gave up opportunity to be permanent resident of Australia because I wanted to live here, in Indonesia. I wanted to contribute to the people and community. Semua itu janji yang gw tulis di motivational letter saat apply beasiswa dan kampus untuk S2 8 tahun yang lalu dan janji itu masih gw pegang sampai sekarang.

Tapi kenapa masa depan Indonesia tampak suram sekali???

Please jangan bikin gw menyesali apa yang sudah gw janjikan. 

Ya Tuhan.. Lindungilah negara ini.

Anyway, dalam situasi seperti ini, gw jadi teringat percakapan bersama 3 teman some times ago. Ga usah gw kasih tau ya siapa orang-orangnya, karena cukup absurd. They are not even my close friends dan kita baru kenal beberapa bulan. 

Percakapan ini sedikit menyinggung apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Dimulai dengan sebuah pertanyaan: do you wish to have kids?

Whoa. 

That was a very personal question!

My introvert side kicked in. Berasa diserang gitu sama pertanyaan itu. 

I mean I don’t mind discussing it with my close friends, atau at least temen2 yang gw udah kenal lama, setahunlah minimal. Mereka-mereka yang ada dalam close proximity yang intens sama gw, misalnya ketemu di kantor atau klub atau komunitas atau project secara rutin, sehingga gw nyaman sama mereka. 

But these guys.. kayak baru kenal 1-2 bulan gitu.. 

So I felt so attacked!

But the other 3 kayaknya orang2 extrovert, jadi didn’t mind sharing their ideas. So I had to play along.

You know, topic about kids itu sangat sensitif buat gw. Selama ini kalo bisa gw menghindarinya. Gw bahkan mungkin ga pernah discuss itu di blog ini padahal blog ini safe space buat gw. Gw mungkin pernah bahas topik ini sama beberapa temen, tapi paling permukaan doang. And I most definitely never talked about it with my parents/family. 

Gw tuh sebenernya tipe orang yang punya pendirian. Yang stance-nya jelas di situasi apapun. I always have strong ideas and opinions. Gw tau gw harus gimana, dimana, memilih apa, berpihak ke siapa, dll itu gw selalu tahu. Selalu yakin dan teguh pada pilihan gw, atas apa yang gw percaya dan yakini benar, atas mana yang baik dan buruk. Itu gw selalu tahu. 

Gw selalu di posisi hitam atau putih, ga pernah abu-abu.

Kecuali… soal anak. 

photo cred here


Ini adalah topik yang gw ga tau dan ga yakin stance gw dimana. I’m neither pros or cons. 50:50. Abu-abu.

Di satu sisi, gw pengen punya anak. I’m sure I can be a good mom, karena gw punya contoh yang luar biasa: nyokap gw. Sosok ibu yang sempurna. Strong, smart, calm, kind, resilient, patient, loving, supportive, forgiving. Semua good quality nyokap bisa gw terapkan pada diri gw dan berlakukan ke anak gw sehingga minimal anak gw nantinya akan tumbuh menjadi seperti gw, which is not bad. :p

Punya anak juga sebuah keputusan yang mulia. You know, just from science perspective, regenerasi human race supaya tidak punah. Who knows anak kita nantinya akan menjadi penerus Einstein, pemimpin dunia, atau agent of change yang akan memberikan the better life for everyone.

A little part of me juga merasa anak akan melengkapi hidup. Pencapaian terbesar sebagai perempuan adalah to become a mother. Kayak udah qodratnya gitu. 

The idea of nggak sendirian di masa tua juga menarik. Walaupun nantinya gw ga akan membebankan kewajiban untuk mengurus gw di masa tua ke anak gw ya. I don’t mind ditaro di panti jompo (yang layak) terus anak gw nengokin seminggu atau sebulan sekali. That’s okay. 

Namun, di sisi lain, punya anak juga banyak risikonya. Risiko finansial yang paling utama. Punya anak itu mahal—at least kalau kita mau memberikan standar hidup yang layak/nggak di bawah standar buat mereka. 

Risiko finansial ini juga ga ada ujungnya, akan terus berlanjut seumur hidup. So gotta be ready for that too. Planning-nya udah sampai after life, ga cuma sampai anak kuliah aja..

Then ada risiko mental dan psychological untuk ibu. Kehilangan identitas atau semacamnya, ketika nama “Seeta” perlahan fade away menjadi “Bu X (nama suami)” atau “Mamanya Y (nama anak). Dealing with negative stigma around women and mothers who are being judged more harshly than men. Balancing the demands of motherhood and personal life. Navigating postpartum physical changes and self-image…

But you know, I know my capability, and I think I can deal with those risks and survive. I couldn't care less. 

It’s just.. for me, it’s not fair for my children to be born and raised in Indonesia, especially now that it is becoming a more and more inhuman place to live. 

Gw hidup di negara ini aja sekarang udah susah dan takut, nggak adil rasanya membawa another innocent souls into this chaos. They don’t deserve this. They don’t deserve Indonesia Gelap.

That being said, the only scenario yang make sense untuk punya anak adalah cari jodoh WNA dan migrasi ke LN—which what I’m going to do in the long run. Anywhere is better than here. 

Okay going back to the convo with 3 extroverts…

You know.. all of those statements.. semuanya very personal dan definitely ga akan gw share ke orang yang baru gw kenal. I can sense that all my points might sound controversial, jadi gw ga mau mereka malah argue atau nanya-nanya follow up questions yang bikin gw makin feeling attacked atau insecure, or worse: memberikan saran atau kritik on how I’m supposed to live my life. Hell no.

Jadi jawaban gw saat itu adalah: “I’ll let my husband decides.”

That just came instinctively because I needed to end this convo real quick.

Sekarang kalo dipikir2, jawaban gw jenius juga. Wkwk~

I mean, bukan bermaksud lari dari tanggungjawab. Seorang istri pada akhirnya harus mendengarkan apa kata suami kan? So, taichi aja. Nyehehe~

Anyway, my point is, gw sekarang masih ga tau mau punya anak atau nggak. But then I realize punya anak atau nggak itu keputusan bersama dengan calon suami gw nanti, ga cuma keputusan gw doang. 

Kalo sekarang gw masih 50%, ya tergantung suami gw nanti. Kalo dia mau punya anak, apakah dia bisa meyakinkan gw supaya skornya jadi 70% misalnya. Then let’s have kids.

Sebaliknya, kalo dia memilih child free, ya usaha aja nurunin skornya ke 1-49%. Then let’s spend the rest of our lives together, just the two of us. That’s also fine for me. 

So yeah, nampaknya kategori calon suami gw nanti cuma 2: 1) bule, 2) orang yang masih optimis sama masa depan Indonesia. Wkwk~

Dah ah. Gw mau nonton The Residence di Netflix. Butuh distraksi dari semua kabar buruk yang mengikis moral di luar sana.
 

Tuesday, August 26, 2025

Now what?

Hi, guys! How yall doin?

Got into this convo with friends a few weeks ago.

“So you’ve reached your goals, now what?”

photo creds here


--Ini cerita pertama--

Sejak kecil, kita diperkenalkan dengan konsep cita-cita.

Arti kata cita-cita menurut KBBI:

cita-cita (n) keinginan yang selalu ada di dalam pikiran

Dalam prakteknya, cita-cita hampir selalu dikaitkan dengan konteks karier atau dream job. Jadi ketika orangtua atau guru bertanya pada diri kita sewaktu kecil, jawabannya hampir selalu profesi. 

Dokter, pilot, pramugari, ilmuwan, guru, polisi, PNS (I know particular parents yang menanamkan konsep PNS adalah segalanya sejak dini, wkwk)—to name a few cita-cita yang paling populer, at least di lingkungan tempat gw dibesarkan.

Gw sendiri pernah bercita-cita menjadi dokter waktu SD. Menurut Seeta kecil, dokter itu semacam magician, bisa menyulap orang sakit menjadi sehat. Gw juga merasa dokter itu profesi yang mulia, karena menyehatkan bangsa. Karena itu, gw pernah kepingin jadi dokter. 

Sayangnya cita-cita ini kandas ketika SMA, ketika tau bahwa secara akademis gw tidak memenuhi syarat menjadi dokter. Berkali-kali simulasi tes masuk Kedokteran UI selalu gagal. Pun gw tidak jago-jago amat di Fisika dan Kimia, jagonya cuma di biologi~ Jadi yaa realistis aja. 

Sekitar SMP ketika gw mulai intens berkenalan dengan pop culture, pernah juga bercita-cita jadi aktris dan rapper. Wkwk~

Random sekali memang. But seriously, gw beneran merasa gw jago akting karena jago bohongin orang sempet ikutan teater and I fucking nailed a couple of plays. Juga terinspirasi film-film dan artis-artis remaja masa itu tentunya, Lindsay Lohan, Hilary Duff, Amanda Bynes, dll. Terus gw tuh bisa lho hapal script satu film full dan re-enact scene-nya, sebwah skill yang ga ada faedahnya. Wkwk~

Lalu, karena pernah ada masanya I was really into hip hop and rap music thanks to Eminem and Linkin Park, gw pengen jadi rapper. I thought it was so cool to be able to write and sing a rap lyric/cipher that not all people can decipher. Sampai sekarang gw masih bisa nyanyi lagu Lose Yourself – Eminem, Empire State of Mind – part rap-nya Jay-Z, Bang Bang – part rap-nya Nicki Minaj, dan God knows how many lagu-lagu Linkin Park, so flawlessly. My biggest flex to date. :p

Sayangnya, cita-cita jadi aktris dan rapper pun harus dikubur karena tidak realistis juga. Tidak bisa diajukan kepada my Asian parents yang mementingkan sekolah dan prestasi akademis. I didn’t even dare propose the ideas to my parents. Udah kebayang reaksinya, “mau jadi apa masa depan kamu?!” wkwkwk~

Hihihi.. Seru ya punya cita-cita tidak realistis.

Kemudian gw berkenalan dengan media massa. TV, radio, majalah, koran, film, buku, musik, dan jatuh cinta pada industrinya. Industri media. Terutama majalah sih waktu itu, nyokap gw selalu bawa pulang majalah hasil dari placement iklan agency tempat beliau bekerja. Semua majalah yang dibawa nyokap gw baca, ga cuma majalah remaja macam Gadis, Cosmo Girl, Go Girl, Kawanku, Hai, tapi juga interest-based magazine kayak majalah otomotif, gadget, National Geographic, Reader’s Digest, dll.

Semakin sering baca majalah, semakin cinta dengan industri media, lama-lama terbesit keinginan untuk berkarier di sana. Kayaknya seru nih, kalau bisa jadi orang yang bekerja di media. Bisa dapet akses ke informasi-informasi menarik lebih duluan dari orang lain, akses ke event-event seru, ketemu orang-orang penting, traveling ke tempat-tempat yang gw belum pernah datengin sebelumnya, on top of that, DIBAYAR LAGI. Wkwk.

Yang kepikiran waktu itu ya kerja di majalah, jadi jurnalis/editor. Ini menjadi cita-cita pertama gw yang realistis. Kebetulan gw juga dianugerahi bakat menulis hasil konsisten menulis diary sejak SD, jadi align dengan cita-cita menjadi jurnalis/editor itu. Alhamdulillah, orangtua approved.

So all set. Fast forward, masuk Ilmu Komunikasi – UI, program studi jurnalisme. Begitu lulus, dapet kesempatan jadi jurnalis di Majalah XXXXX, yang kemudian di-promote jadi editor 2 taun kemudian. 

Cita-cita pertama gw tercapai di usia 24 tahun. 

Sounds awesome? Yeah. Ada masanya gw bangga banget sama pencapaian itu. Tapi ga lama, karena setelahnya gw bergumul dengan konsep baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 

Kalo ada satu hal yang orangtua lupa/tidak bahas/sosialisasikan/ingatkan/kenalkan pada kita ketika mereka memperkenalkan konsep cita-cita, itu adalah apa yang akan terjadi pada kita, atau apa yang harus kita lakukan, setelah cita-cita itu tercapai.

In my case, which I’m pretty sure terjadi pada anak-anak lain juga, mereka tidak melakukannya. Konsep cita-cita itu berhenti ketika cita-cita sudah tercapai. Lalu setelah itu, apa? Now what?

Do we have to live with it for the rest of our lives?
Do we have to set new goals?
Do we have to make something out of it?

What should we do???

Gw bingung banget waktu itu.

Apalagi setelah dijalani, realitanya menjadi jurnalis/editor itu pahit. Problem utama di penghasilan. Di balik semua privilege-nya, mereka hanya kuli tinta yang penghasilannya rendah secara industry standard. When reality bit, I got family to feed, bills to pay, lifestyle to support, pekerjaan itu menjadi terasa sia-sia buat gw. I didn’t gain much by the end of the day.

Belum lagi industri media konvensional seperti majalah dan koran waktu itu mulai tergerus digital. Oh great, not only everything that I did is a vain attempt, I was at risk of losing my job too if I just stayed there. Kebutuhan untuk upskill menjadi penting untuk bisa bertahan di industri ini. 

Pivot. Resign, masuk agency. Persetan dengan cita-cita.

--Ini cerita kedua--

Cita-cita masa kecil gw yang lain adalah kuliah S2 di luar negeri. Inspirasinya dari mana gw lupa sih. Tapi sejak kecil gw selalu tau pendidikan gw ga berhenti di S1. Kenapa luar negeri kalo ga salah sih ya karena logika aja. Gw S1-nya udah di UI—kampus #1 se-Indonesia. Gw selalu mau goes above and beyond in the next step of my life, jadi ga mau kuliah di Indonesia lagi. Ibaratnya di Indonesia gw udah kuliah di kampus ranking tertinggi, berarti S2 harus di kampus yang ranking-nya di atas UI, yaudah harus ke luar negeri.

I always wanted to try living abroad by myself as well, melatih kemandirian. 

So all set. Fast forward, mengejar beasiswa Purpose dan dapet, diberikan kesempatan untuk memilih kampus dan jurusan juga (yang mana gw pilih sesuai industri yang gw suka—media and entertainment), menyelesaikan S2 di Melbourne dalam 1,5 tahun (ketika orang lain butuh 2 tahun).

Cita-cita kedua gw tercapai di usia 28 tahun.

Lalu siklusnya berulang. 

It sounds awesome indeed. At that time, I felt like I could conquer the world. Pulang ke Indo dengan penuh kebanggaan. 

But again, rasa bangga itu nggak bertahan lama. 

Kembali bergumul dengan “now what?”

Gw harus ngapain nih???

Bingung lagi.

And again, another reality bites moment followed right away. Right after for good, langsung jadi pengangguran berbulan-bulan. Cari kerja paska S2 di luar negeri ternyata tidak semudah itu, Fergusso. 

Another concept yang ga di-heads up sama orangtua kita, cita-cita always comes with consequences. Ada terms and condition yang ga terlihat lho. 

--Ini cerita ketiga--

Sejak tahun 2016, alias sejak nonton Stranger Things pertama kali, gw selalu pengen bekerja di Awe. Ambi banget ini, level ambinya 11-12 sama dapetin beasiswa Purpose. Tapi berkali-kali apply (kayaknya to the point my CV auto-reject by system~ wkwk) not even sampai dikontak~

Fast forward, setelah menjalani 1 tahun di QQ yang menyenangkan (to the point kerja di Awe udah bukan ambisi lagi) dan 3 tahun di Errthing yang painful, siapa sangka Awe came out of nowhere. At the time of hopelessness, when I wanted to break free from Errthing so fucking desperately, Awe came to the rescue. I was scouted—contrary to what has been happening a.k.a gw ngejar-ngejar Awe. Kali ini Awe yang ngejar-ngejar gw. Oh so uh-mazing~

Cita-cita ketiga gw tercapai di usia 36 tahun. Tepat 9 tahun sejak gw nonton Stranger Things pertama kali. [eaaa]

Bedanya, kali ini T&C-nya terlihat nyata. I won’t be there for long. Seakan Tuhan udah capek terus menerus mengabulkan cita-cita gw. Biasanya dikasih satu gelas full, sekarang setengah gelas doang. Hahaha~ Canda Tuhan~

So as expected, sekarang gw kembali bergumul dengan "now what?". Padahal udah masuk Awe nih, ibarat kisah Disney princess, sekarang udah di part happily ever after. But no, gw masih bertanya-tanya "now what?"~

Masih banyak lagi cerita tentang cita-cita gw yang tercapai. Tapi yaa.. ending-nya selalu begitu. Selalu ada “now what?” dan konsekuensi hasil manifestasi reality. 

Akibatnya? Gw jadi takut punya cita-cita lagi karena jujur sampai sekarang gw belum punya jawaban buat pertanyaan “now what?” ini. 

Jadi sekarang gw harus gimana? harus ngapain?

Kalo udah tercapai, apakah cita-cita itu harus dilanjutin, di-stop, di-renew, di-auto cancel, di-upgrade, dibiarin, atau apa?

Kalo kalian punya jawabannya pls let me know. 

Monday, August 11, 2025

Banyak Mau – Part One

Gw lagi banyak mau nih~ Tapi ga jelas, semua cuma scrap of ideas di otak, ga di-list secara nyata, ga dibikin skala prioritas, dan ga punya visi/strategi gimana mencapai semua itu. Padahal resources-nya (duid) terbatas~

Gw coba list deh, biar jadi friendly reminder juga untuk bisa achieve.

1) Pengen les renang, karena pengen punya diving certificate supaya bisa conquer the fear of the sea. Laut itu the next fear yang ingin gw kalahkan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan fear of heights dan fear of pain.
 
2) Pengen les nyetir. Believe it or not sejak SMA gw udah les nyetir berkali-kali tapi ga pernah di-practice akhirnya lupa terus. SIM di dompet udah expired dan nganggur karena ga pernah dipakai. Kasian. Motivasi bisa nyetir adalah supaya bisa bikin konten lip-sync sambil nyetir di TikTok. Wkwk

3) Pengen berotot. Baru-baru ini gw menyadari tangan gw yang minim daging dan otot ini udah mulai bergelambir tipis. Wah, langsung insecure, bro! Tapi gw malesss banget nge-gym! Gym is not my thing. Gw kalo committed nge-gym harus pakai PT, otherwise gw bingung sendiri make alat-alatnya~ Ada ga sih cara melatih otot tanpa harus pake equipment gym? Kenapa sih yoga/lari ga bisa bikin otot? 

Nazar kali ya? Kalo tahun depan masih di Awe, kita sign up gym di PCP. Ok. Catet ya.

4) Pengen pakai braces. Wah ini dari zaman kapan tau, harusnya pas pulang dari Melbourne langsung pakai. Tapi mahal kan waktu itu belom bisa afford~ Sekarang udah bisa afford sih, tapi pengeluaran untuk hal-hal yang lebih penting lebih banyak~ Gw ga tau braces ini ada di prioritas nomor berapa. Huff

5) Pengen punya luxury designer bag. Sebenernya kan secara konsep gw cuma pakai tas Kanken ya, dan sekarang gw udah punya 11 tas Kanken untuk berbagai macam kebutuhan. Tapi ada satu situasi tas Kanken ga bisa dipakai: wedding. WKWK.

Gw selalu bingung pakai tas apa kalo dateng ke nikahan. Selama ini selalu pinjem tas nyokap tapi karena bukan Kanken, it feels wrong. So I decided to get myself one luxury bag yang bisa gw pakai seumur hidup. 

Gw udah pernah mention di sini bahwa gw naksir Chanel Coco Handle Bag. Rasa itu belum berubah, sampai sekarang masih cinta. Unfortunately, kondisi dompet juga belum berubah (ouch!). Yha prediksinya kan 2-3 tahun baru bisa afford..

But the needs are getting urgent, can’t wait for another year ~ Jadi harus re-strategy. Either beli pre-loved atau pivot ke brand lain, yang mana second of my choice is YSL Envelope Shoulder Bag. 




Harganya setengahnya Chanel.  Coba ya kita pikirkan masak-masak. 

Masih banyak lagi yang gw pengen, nanti kita bikin part 2 deh. Sekarang gw laper, mau makan. 

Ciao!
 

Sunday, August 10, 2025

Me wassup #111 - Campur Sari

Hi, guys! How yall doin?

Minggu ini lumayan campur sari. Dimulai dengan hari Senin yang awalnya tampak baik-baik saja, in the middle of the day turun hujan, yang sebenernya biasa aja, ga deres-deres amat, dan cuma sebentar~ Eh… rumah banjir~ GODFUCKINGDAMNIT!

Kesel banget gw. Belum sebulan banjir juga, sampai gw impulsif sewa jasa pembersih rumah seharga 2,6 juta karena gw ga tahan liat nyokap stress bersih-bersih aftermath banjir. Lumayan tuh rumah jadi kinclong banget. EH BANJIR LAGI SIANJINKKK!!!

Ga bisalah gw keluar 2,6 juta tiap bulan, gila apa?!

Bokap gw udah marah-marah ke pengurus komplek~ Yaiyalah, masa mau gini terus kalo ujan?!! Fak bener~

Ya Allah.. Ngelus dada banget deh tinggal di rumah ini sekarang.. 

Malam itu lembur sampai jam 3 pagi buat bebersih. Untung paginya ga ada meeting jadi gw bisa dateng siangan.

Kantor gw itu sebenernya menyediakan fasilitas bantuan untuk karyawan yang kena musibah semacam natural disaster. Tapi stuff like this gw ga bisalah ceritain ke mereka because it’s embarrassing~ I don’t want people to take a pity on me~ So I just suck it up~

Okay so Monday was a disaster. Thank God, Tuesday-Saturday went okay.

Ada satu hal yang bikin gw feeling guilty sih. So you see, beberapa minggu lalu gw sempet bikin postingan ini kan, ketika gw lagi feeling down because of some communication issues at work. To be honest with you, at that time, I was so afraid I couldn't make it far at my current job, so I impulsively responded to a job offer~

Semacam memberikan sinyal gitulah sama employer-nya dan sinyal ini direspon dengan baik oleh mereka to the point I was scheduled for an interview. 

But then, ternyata kerjaan gw yang sekarang baik-baik aja, meaning gw lanjut nih sama Awe. Sumpah gw ga enak banget sama that employer~

Tapi daripada memberikan sinyal palsu dan buang-buang waktu mereka interview calon karyawan yang pada akhirnya tetep ga bisa masuk cepet, it's not fair for them. Hence, interview harus dibatalin. So I sent a formal email, minta maaf dan menjelaskan kondisinya. Alhamdulillah, mereka mengerti.

I’m really sorry. I really just want to finish what I’ve started.

Ini lesson learned juga buat gw, jangan bertindak gegabah. Jangan membuat keputusan ketika you’re not even thinking straight. Got it.

Buat future employer yang tertarik meng-hire gw, gw akan open to opportunities lagi bulan Oktober ya, dan bisa mulai di kantor baru bulan Januari. <3

Btw udah ah ga mau bahas kerjaan mulu~

Next yang mau gw bahas adalah… pertemanan.

Minggu ini tampaknya harus say goodbye ke beberapa orang, meaning memutus tali pertemanan. Atau hiatus pertemanan, diem-dieman aja entah sampai kapan~

Trigger-nya adalah gw di-kick dari grup without my consent. WKWK

So high school, men!

Oh well cukup tau aja. Just acknowledged this as seleksi alam. 

Gw emang udah harusnya stop caring about them sejak lama, they are already in the past, better fokus sama the present life aja. Toh udah ada temen-temen baru yang lebih baik dan menyenangkan.

But you know, I’m just a mere human-lah, I have emotions. Deep inside, can’t help but feel sad aja sih. Because, regardless of everything, I still see them as good friends, some of the real ones. I genuinely care about them walaupun situasi pertemanan kita sudah tidak seperti dulu lagi. I mean, 3 taun bukan waktu yang sebentar untuk membina dan me-maintain pertemanan, but now it all goes down to drain? 

Oh well..

Takeaway-nya work is not the place to make real friends-lah. Udah beberapa kali kayak gini kok. Dari 100% temen yang dikenal di lingkungan kerja, paling yang lanjut jadi temen setelah resign cuma 10%-nya. Udah ilmu pasti ini.

Jadi stop baper. Kita nonton One Piece aja, where your nakama a.k.a friends never fail you. :D

Another thing yang mewarnai hidup gw minggu ini adalah Wednesday [lah ini kerjaan juga~ lol, well not really].

Terima kasih buat teman-teman yang sudah menghadiri dan having fun di activation kami di Senayan City. Konten-kontennya ciamik sekali. 

Gw sendiri ke sana total 3 hari, 3-3nya dengan intensi yang berbeda. Ada yang kerja, ada yang nemenin temen, dan nemenin adek. 

kece ya aq. :3



Wednesday S2 sudah tayang di Netflix. <3

Gw sudah nonton dan so far suka sih. Jenna Ortega is phenomenal like always [konon honornya naik 800% buat Season 2 ini]. Yha gw sih kalo naik gaji segitu juga akan memberikan phenomenal performance ya. Basically sold my soul to the devil. Nyehehe~

Emma Myers juga—Enid, my fave!!! So adorbs!!! I love premise Season 2 ini Wednesday mau nyelametin Enid. The world really does need more of their friendship!

Cuma sebel aja cuma 4 eps, yaelaaaah~ Kayak lagi asyik terus being cut mid way gitu~

Kalo mau bikin 2 part mbok ya episodenya tambahin gitu lho, kayak Squid Game~

*komplen ke kantor sendiri* wkwk

Minggu ini gw juga berkesempatan menonton 2 film: La Tahzan dan Weapons. Keduanya tampak sangat berbeda, turned out isinya sama. Guna-guna is LYFE! Hahahaha~

Both good movies, though. 

Strategic casting for La Tahzan. So nice to see Marshanda in her element [perempuan terdzolimi], Deva Mahenra in his forte [tukang selengki], and Ariel Tatum in her… ya gitu deh.  Wkwk~

Weapons menjadi titik balik gw kembali nonton film horor. Fyi, gw phobia film horor gegara pas SMP nonton Tusuk Jelangkung terus ga bisa tidur di kamar gelap 2 minggu~ Since then gw bersumpah ga mau lagi nonton supernatural content yang terlalu graphic gitu~

Well, Weapons sebenernya ga horor sih, lebih ke thriller ya. Kalo horor setan2 gitu gw masih ga mau deh keknya, unless nontonnya sama…… ;)

Minggu ini ditutup dengan ciamik oleh first look One Piece Live Action Season 2.




Robin-cwaaaaannn so good to see you!!!

Looks good so far. Everything seems to be on the right track. 

Totally understand the controversy around Vivi. Tidak bermaksud rasis, tapi Vivi kan emang harusnya middle eastern ethnicity. At least dari cara Oda mendeskripsikan Alabasta, with the desert, the clothes, and the buildings references..

That Bridgerton girl better do us good! Bagus ga sih dia acting-nya? Gw ga nonton Bridgerton, udah usaha, tapi geli sendiri jadi ga nerusin~ wkwk

Sedih tapi OPLA S2 masih taun depan.. yang mana kemungkinan gw sudah tidak di Awe.. :(

Oh well, still got to celebrate it with my Nakama though~

Okay, that’s all for today, folks!
 

Saturday, August 2, 2025

Fun Wednesday on a Friday

Hi, guys! How yall doin?

It’s funny betapa roda berputar begitu cepat. Dua minggu lalu gw bikin postingan yang isinya depressing. Ketika gw lagi sedih, marah, bingung, dan frustasi.

Tapi sekarang gw ada di mental state yang lebih stabil, lebih tenang. It’s one of those days I feel really grateful about my life.

I hope this kind of day happens more often, but that’s not how life works.

Anyway, postingan kali ini akan menceritakan my day yesterday. How my Friday, August 1st went down. 

Wednesday adalah salah satu serial di Netflix yang gw suka. Gw agak telat jumping into Wednesday bandwagon. Padahal dulu suka banget anything Tim Burton. 

Wednesday, kekuatan utamanya di karakter. Wednesday is GREAT. The writing for this character is really clever. And Jenna Ortega portrayal is FLAWLESS. 

I especially love Wednesday and Enid’s friendship. It's beautiful. They kept me going, you know, finishing the series until the end. Bcoz let’s be honest, mystery element-nya kan b aja, cenderung cetek. Hehe~

creds: here


Aren’t they so cute together? :3

Anyway, felt so honored and humbled to be part of Awe’s Wednesday campaign. <3

Yha walaupun peran gw di situ cuma sedikit… hahaha~

Activation-nya ada di The Space Senayan City mulai hari ini sampai tanggal 7 Agustus. Be sure to catch it! It’s so damn cool!!! *honest review ya, bukan karena gw kerja di sana. Hahaha~~

Oh I love Awe. The people, the culture, the spirit, the passion.

Belakangan ini gw overthinking kebersamaan ini akan segera berlalu. Every second I spend with them is like a ticking clock. Lalu sedih lagi. Aaaaahhh~~

Anyway, mau cerita dikit tentang kemarin. Seperti biasa Awe kalo bikin activation ga nanggung-nanggung. Big budget. Yang diundang pun KOL-nya ga kaleng-kaleng. Salah satu yang diundang, Naura Ayu. 

Gw pernah kerjasama dengan Naura di beberapa occasion sewaktu masih di Errthing. Gw meng-handle promo series yang dibintangi Naura. Tapi udah lumayan lama, terakhir itu pertengahan 2024. 

Waktu melihat Naura dateng kemarin, gw berniat menyapa, tapi gw urungkan karena gw pikir dia ga akan inget gw. 

But guess what, she remembered me!!! She called me out of the blue di tengah puluhan orang-orang yang berkumpul di situ. 

OMG Nau, you are the sweetest! 




We didn’t talk much karena dia harus kerja (well, we both harus kerja. wkwk). Gw cuma nanyain kabar dia + keluarganya. We spoke a little bit about our mutual friends. Then I told her that I’m now with Awe, and she congratulated me. 

“Ciyeee.. Lanyard-nya udah baruuu..” katanya. xD

Regardless of our super limited interaction, she managed to give me so much contentment. It just feels so good to be remembered, and it just makes me so happy that someone out there is actually happy for me for who I am today. :)

Makasih ya Nau. You’ve made my day. Sukses selalu buat kamu. <3

Oiya, kemarin ketemu juga sama anak-anak COC (Clash of Champions). Meng-kaget! Yang tiap weekend cuma liat di YouTube, tiba-tiba depan mata. I thought they keep the kids until the finale, tapi kemarin dilepas-lepas aja tuh. 

Lalu berkenalan dengan CEO-nya. *insert glacing slightly eye emoji*

Katanya sih… Mau di-invite finalnya di Balai Sarbini tanggal 23 Agustus… Kita liat ya beneran atau bluffing doang. Wkwk~

Selesai bertugas di Wednesday, gw bertolak ke CGV GI karena menang tiket nonton premiere Freakier Friday. Film yang paling gw tunggu di 2025… verdict-nya??? Kureng gaes. Wkwk~

Ibarat masakan, kayak ada bumbu yang lupa dimasukin. Kurang micin.

Characterization juga, writing-nya agak berantakan. Not enough context/background for everyone (eps. the 4 main leads) to proceed into conflict that leads to the body swaps.

But I wasn’t 100% unhappy sih. The nostalgia element is solid. Most of the jokes are on point too. 

Masih bisalah gw kasih [7/10]. Tbh udah cukup senang melihat Lindsay Lohan being pretty and healthy. Juga sebuah kehormatan melihat Jamie Lee Curtis—still getting it!

Minggu ini seru dan belum berakhir! Who knows ada kejutan yang menanti gw besok di hari Minggu!

Tapi kayaknya sih… Minggu depan bakal lebih seru lagi. We’ll see!

Laters!